REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Prof Gayus Lumbuun menyatakan, seorang hakim bisa mensahkan seorang terdakwa bertindak sebagai justice collaborator (JC) jika dianggap dapat memberikan manfaat terhadap penanganan suatu perkara hukum. Jika dinilai tidak bermanfaat maka hakim bisa menolaknya.
"Misalnya JC pada perkara korupsi, tetap harus mengembalikan secara utuh semua korupsinya, baru bisa berperan mengungkap kasus-kasus dengan terdakwa lainnya. Itu yang dianggap bermanfaat,” ujar Prof Gayus Lumbuun dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/2/2023).
Dengan menjadi JC, lanjut Gayus, diharapkan korupsi yang dilakukan terdakwa lain pada kasus yang sama bisa terungkap terang benderang dan uangnya dapat dikembalikan kepada negara.
Demikian juga terhadap Bharada Richard Eliezer atau Bharada E, terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Yoshua Nofriansyah Hutabarat alias Brigadir J yang oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dijadikan sebagai JC. Hakimlah yang menilai apakah Eliezer bermanfaat atau tidak sehingga layak disebut sebagai JC.
"Saat ini sudah menjadi tren orang menjadi JC. Yang mau jadi JC jumlahnya bisa ribuan, tapi yang disahkan oleh hakim kalau tidak salah tidak sampai 200 orang. Itu artinya ada pertimbangan bagi hakim untuk memutuskan seseorang layak tidak menjadi JC. Jangan-jangan mau jadi JC hanya supaya hukumannya diperingan saja,” ujar anggota DPR RI periode 2004-2014 ini.
Gayus meminta agar masyarakat memahami sebab seseorang dijadikan sebagai JC. Bukan diberikan ekspektasi terlalu tinggi tentang menjadi seorang JC. Akan tetapi, sambung Hakim Agung periode 2011-2028 ini, semua berpulang pada hakim dalam memutuskan perkaranya.
Ketika jaksa penuntut umum (JPU) menuntut hukuman 12 tahun penjara kepada Eliezer, sontak pro kontra bermunculan. Banyak orang menaruh simpatik dan memprotes tuntutan tersebut. Sampai-sampai 100-an guru besar harus ‘turun gunung’ dengan label Aliansi Akademisi Indonesia (AAI) dan ‘mewakafkan’ dirinya menjadi amicus curiae demi membela Eliezer.
Secara harfiah, amicus curiae berarti ‘friends of court’ atau sahabat pegadilan. Itu dimungkinkan bila tidak sedang menangani perkara. Tapi bila hakim tengah menangani perkara, apalagi kasus yang pelik seperti pembunuhan Brigadir J ini, tentu tidak diperbolehkan orang menjalin relasi, apalagi bersahabat dengan pengadilan.
"Itu sudah melanggar independensi pengadilan. Dalam menangani suatu perkara, hakim dan pengadilan harus independen, imparsial, dan steril. Tidak boleh memakai cara-cara tertentu untuk mempengaruhi, apalagi menekan hakim," kata Gayus mengingatkan.
Gayus mengakui, di Indonesia masih membingungkan dalam menentukan seorang menjadi JC. Sebab, ada tiga pihak yang punya hak menentukan, mulai dari penyidik, jaksa, dan LPSK. Karena itu, ia mengusulkan kepada pemerintah dan DPR RI agar segera membentuk lembaga khusus untuk JC. Ini penting karena ke depan akan ada banyak orang yang memilih menjadi JC. "Kalau tidak ada lembaga khusus, maka akan membingungkan dan akibatnya akan banyak JC ditolak oleh hakim karena dinilai tidak layak dan tidak memberi manfaat."
Gayus meyakini, bila ada lembaga khusus untuk JC, maka wadah tersebut nantinya yang akan menilai seorang layak atau tidak diajukan sebagai JC. “Wacana ini harus digulirkan sehingga bisa dibentuk UU bagi lembaga khusus untuk JC,” tegasnya.