Rabu 22 Feb 2023 20:01 WIB

Ekonomi Makin Terpuruk, Invasi Rusia Bisa Berakhir Sia-Sia?

Belum ada tanda-tanda militer Rusia akan menarik pasukannya dari wilayah Ukraina.

Foto ilustrasi prajurit Ukraina menembak ke arah posisi Rusia di garis depan dekat Kherson, Ukraina selatan, Rabu, 23 November 2022.
Foto: AP Photo/Bernat Armangue
Foto ilustrasi prajurit Ukraina menembak ke arah posisi Rusia di garis depan dekat Kherson, Ukraina selatan, Rabu, 23 November 2022.

Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Setahun terakhir perekonomian Rusia terus mengalami guncangan. Sanksi ekonomi bertubi-tubi yang dilancarkan oleh negara-negara Barat membuat negara adidaya itu jatuh ke jurang resesi.

Sebagai hukuman atas tindakan Rusia melakukan invasi militer ke Ukraina pada 24 Februrai 2022, para sekutu Ukraina, terutama Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, menghujani Moskow dengan rentetan sanksi ekonomi. Pembatasan ekspor dan impor hingga masalah pasokan suku cadang membebani perekonomian Rusia.

Pada 16 November 2022 lalu, Kantor Statistik Rusia, Rosstat, melaporkan ekonomi Rusia kembali mengalami kontraksi sebesar 4 persen pada kuartal III 2022 dibanding kuartal III 2021 (year on year/yoy). Dengan kontraksi ini, Rusia resmi mengalami resesi ekonomi. Pasalnya, perekonomian Negeri Beruang Putih ini pada kuartal sebelumnya juga mengalami kontraksi sedalam 4,1 persen (yoy).

Pada awal November tahun lalu Bank Sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) telah sempat memperkirakan, produk domestik bruto (PDB) akan berkontraksi sebesar 3,5 persen di tahun 2022. IMF dan Bank Dunia masing-masing juga telah memperkirakan penurunan PDB Rusia sebesar 3,4 persen dan 4,5 persen.

Tak hanya pertumbuhan ekonomi yang mengalami kontraksi, laju inflasi tahunan Rusia juga membumbung tinggi. Bahkan dua bulan setelah invasi ke Ukraina, tingkat inflasi tahunan Rusia mencapai level tertinggi sejak Januari 2002, yakni di angka 17,83 persen.

Nilai tukar rubel yang jeblok dan disrupsi rantai pasokan menjadi pemicu lonjakan inflasi tersebut. Namun, CBR mengambil langkah cepat membalikkan keadaan. Sehingga lonjakan inflasi ini dapat diturunkan dengan cepat.

Sanksi yang diberikan AS dan Sekutu membuat kurs rubel jeblok lebih dari 100 persen terhadap dolar AS. Rubel jatuh ke rekor terlemah sepanjang sejarah 150 rubel per dolar AS pada awal Maret 2022.

Namun tidak berlangsung lama, hanya dalam tempo dua bulan rubel berbalik menguat. CBR kala itu mengerek suku bunga menjadi 20 persen dari sebelumnya 9,5 persen. Presiden Rusia Vladimir Putin, juga menerapkan kebijakan capital control yang memberikan dampak yang besar terhadap penguatan rubel.

Alhasil, rubel langsung berbalik menguat tajam, inflasi pun menurun dalam 7 bulan beruntun. Pada November 2022, inflasi di Rusia tercatat turun ke angka 12 persen (yoy). Angka inflasi ini masih bisa lebih rendah lagi seandainya CBR tidak menurunkan lagi suku bunganya.

Sejak inflasi mulai menurun, CBR tercatat enam kali memangkas suku bunga hingga menjadi 7,5 persen. Level suku bunga tersebut bahkan lebih rendah dari sebelum perang dengan Ukraina.

Hingga hari ini memang belum ada tanda-tanda militer Rusia akan menarik pasukannya dari wilayah Ukraina. Bahkan Rusia dilaporkan telah memperbesar anggaran belanjanya pada tahun ini untuk keperluan militer.

Dalam proyeksinya hingga 2025 mendatang, Pemerintah Rusia telah mengetuk pengeluaran belanja negara tahun 2023 senilai 29 triliun rubel atau setara Rp 6.026,78 triliun (kurs Rp 207,82 per rubel). Dari jumlah itu, sekitar sepertiga dari pengeluaran dialokasikan untuk keamanan dalam negeri dan pertahanan nasional.

Tidak dirinci secara pasti berapa banyak anggaran yang akan mengalir dalam perang di Ukraina. Namun pada November 2022, Forbes mencatat Kremlin telah merogoh kocek hingga 82 miliar dolar AS atau setara Rp 1.243,038 triliun (kurs Rp 15.159 per dolar AS) dalam perang yang dimulai akhir Februari tahun lalu itu.

Ongkos perang dengan Ukraina yang harus dikeluarkan oleh Rusia tidak sedikit. Sementara anggaran Rusia pada tahun ini dipastikan defisit akibat gempuran berbagai macam sanksi ekonomi, termasuk kebijakan price cap ke minyak Rusia.

Masalah finansial yang dialami Rusia diungkap langsung oleh Deputi Pertama Perdana Menteri Rusia, Andrey Belousov, di pengujung 2022. Belousov berkata kerangka keuangan Rusia memiliki format yang ketat. Karenanya, Rusia akan melakukan prioritasi yang ketat terhadap pengeluaran dan proyek-proyek.

Terkait pengetatan pengeluaran, pada Desember lalu, Presiden Putin mengungkapkan rencana untuk meningkatkan ukuran angkatan bersenjata lebih dari 30 persen karena dia mengatakan Moskow perlu belajar dari dan memperbaiki masalah yang dihadapinya di Ukraina.

Pada konferensi akhir tahun petinggi militer Rusia tahun 2022 lalu, Menteri Pertahanan Sergei Shoigu mengusulkan peningkatan angkatan bersenjata menjadi 1,5 juta personel tempur dari 1,15 juta personel. Putin pun telah menandatangani dekrit musim panas ini yang memerintahkan penambahan 137 ribu pasukan dari 1 Januari 2023 hingga mencapai level 1,15 juta, dan juga telah menyusun lebih dari 300 ribu tentara cadangan dalam upaya mendukung invasi Rusia ke Ukraina.

Kini menjelang setahun peringatan invasi Rusia ke Ukraina, Pemerintah AS berencana untuk memberlakukan sanksi baru terhadap Rusia. Sanksi baru ini menargetkan industri-industri utama Rusia, seperti sektor pertahanan dan energi Rusia, lembaga keuangan dan beberapa individu.

Dengan adanya sanksi baru ini apakah kemampuan anggaran Rusia bakal terus mampu mendanai ongkos perang di Ukraina? Terlebih lagi dukungan peralatan tempur dari negara-negara Barat untuk Ukraina tidak sedikit.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement