REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa, PDIP mendukung sistem proporsional tertutup karena ada kepentingan bangsa yang diprioritaskan. Namun, jika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penggunaan sistem proporsional terbuka dalam pemilihan umum (Pemilu), maka PDIP akan mengikuti putusan tersebut.
"Dengan sikap kenegarawanannya untuk kepentingan bangsa dan negara, kita tunggu keputusan dari MK tersebut dan PDI Perjuangan siap menerima apapun keputusan dari Mahkamah Konstitusi," ujar Hasto di Sekolah Partai DPP PDIP, Jakarta, Kamis (23/2).
PDIP disebutnya mengacu pada pandangan pakar dan akademisi, seperti Mahfud MD, Hamdan Zoelva, dan Jimly Asshiddiqie. Mereka disebut mengatakan bahwa sistem proporsional terbuka berdampak kepada kapitalisasi kekuasaan dan hanya mengedepankan sikap yang berbasis elektoral.
"PDI Perjuangan lebih percaya pada kajian para akademisi ini. Karena mereka digerakkan oleh kebenaran akademisi di dalam melihat fenomena dan akar dari persoalan yang muncul akibat penerapan sistem proporsional terbuka," ujar Hasto.
Ia sendiri melihat, pelaksanaan Pemilu 2024 yang tinggal setahun lagi masih memungkinkan jika adanya perubahan sistem proporsional dari terbuka ke tertutup. Namun sekali lagi disampaikannya, PDIP mengikuti apapun keputusan MK.
"Sekali lagi PDI Perjuangan menyerahkan kepada Mahkamah Konstitusi, karena kami bukan pihak yang melakukan judicial review atas persoalan tersebut," ujar Hasto.
"Hanya kalau melihat kemanfaatannya bagi masa depan, bagi kepentingan bangsa, dan negara untuk mencari calon-calon yang terbaik sama kita mencari calon presiden yang terbaik, maka proporsional tertutup jauh lebih memungkinkan bagi partai," katanya melanjutkan.
Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat bicara terkait isu pergantian sistem proporsional terbuka menjadi tertutup untuk pemilihan umum (Pemilu). Apalagi, ia telah mendapatkan informasi bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan segera mengeluarkan putusannya.
Ia mempertanyakan, apakah ada kegentingan seperti krisis 1998 yang harus membuat sistem pemilu diubah di tengah jalan. Ini mengingat, tahapan Pemilu 2024 tengah dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Menurut saya, lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan (power) yang dimilikinya dan kemudian melakukan perubahan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat secara keseluruhan," ujar SBY lewat keterangannya, Ahad (19/2).
Menurut SBY, mengubah sistem pemilu itu bukanlah keputusan dan kebijakan yang biasa. Dalam perubahannya perlu dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional, tak bisa semata-mata dilakukan di tengah tahapan kontestasi yang sedang berlangsung.
"Bagaimanapun rakyat perlu diajak bicara. Kita harus membuka diri dan mau mendengar pandangan pihak lain, utamanya rakyat. Mengatakan 'itu urusan saya dan saya yang punya kuasa', untuk semua urusan, tentu tidaklah bijak," ujar SBY.