REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) Wilayah Aceh meminta agar Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk merevisi Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 20 tahun 2019 tentang pencatatan pernikahan.
"Revisi itu dalam upaya pemerataan pencatatan nikah di seluruh Kantor Urusan Agama (KUA)," kataKetua APRI Wilayah Aceh Erman Jaya di Banda Aceh, Kamis (23/2/2023).
Selama penerapan PMA nomor 20, banyak pencatatan pernikahan menumpuk di satu KUA sehingga tidak merata ke KUA lainnya.
"Dari APRI, ya kalau bisa direvisi PMA itu oleh pejabat (Kemenag) di tingkat pusat," kata Erman Jaya di Banda Aceh.
Dalam PMA nomor 20, pencatatan pernikahan dilakukan berbasis tempat akad nikah, bukan berdasarkan domisili atau daerah asal dari calon pengantin (catin).
Saat ini, setiap pengantin yang menikah akan tercatat di KUA lokasi akad berlangsung, sedangkan KUA daerah asal pengantin hanya memberi rekomendasi, namun tidak ikut melakukan pencatatan pernikahan pasangan itu.
Dan hal ini, menurut Erman, akan menimbulkan persoalan ketidakmerataan pencatatan nikah di seluruh KUA, sekaligus memberi kesulitan bagi setiap KUA domisili pengantin dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga ke depan.
"Makanya keinginan dari para penghulu supaya kembali ke aturan sebelum adanya PMA nomor 20 ini, artinya para catin bisa mendaftar di kecamatan domisili dan dibenarkan KUA domisili catin untuk melakukan pernikahan di daerah lain, sehingga terjadi pemerataan dalam pencatatan nikah, tidak hanya menumpuk pada kecamatan yang ada masjid favorit," ujarnya.
Misalnya, kata dia, Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh yang merupakan masjid bersejarah. Tentu banyak masyarakat ingin menikah di masjid tersebut. Oleh karena itu, harus diberi keleluasaan kepada KUA domisili catin untuk mencatat pernikahan di masjid tersebut, meskipun di luar kecamatan.
APRI menginginkan agar peraturan pencatatan pernikahan itu kembali seperti sebelum PMA nomor 20 ini berlaku, yaitu pernikahan dicatat di KUA domisili tanpa harus melihat lokasi akad, katanya.
Hal senada disampaikan Kepala KUA Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh Harun Usman, yang mengatakan bahwa angka pencatatan nikah di KUA setempat mengalami penurunan sejak PMA nomor 20 berlaku.
Pada 2020, kata dia, angka pencatatan nikah di KUA Ulee Kareng sebanyak 123 pasangan, kemudian pada 2021 sekitar 100 pasangan serta pada 2022 sebanyak 71 pasangan.
Dan pada 2022, KUA Ulee Kareng juga menerbitkan sekitar 50 rekomendasi untuk catin asal Ulee Kareng yang melangsungkan akad di luar kecamatan, sehingga tidak melakukan pencatatan nikah di KUA Ulee Kareng.
"Artinya mereka menikah di luar kecamatan kita. Rata-rata di Masjid Baiturrahman di Kecamatan Baiturrahman, Masjid Haji Keuchik Leumiek di Kecamatan Lueng Bata dan Masjid Oman Al-Makmur di Kecamatan Kuta Alam. Secara umum, kita sebagai instansi vertikal wajib memberi pelayanan yang baik bagi masyarakat," ujarnya.
Harun menyebut, masyarakat bebas memilih tempat pernikahan, dan KUA akan tetap melayani dengan baik, dengan mengeluarkan rekomendasi apabila catin menggelar akad nikah di luar kecamatan domisili.
Namun yang menjadi masalah ke depan, kata dia, ketika ada pasangan suami istri bersengketa dalam rumah tangga, maka pasangan tersebut tidak datang ke KUA tempat pernikahan mereka dicatat, tetapi ke KUA domisili, sehingga akan menyulitkan proses penyelesaian permasalahan.
"Jadi harapannya pernikahan itu bisa dicatat di KUA domisili (pengantin). Mudah-mudahan ke depan PMA nomor 20 tahun 2019 ini bisa berubah lagi," ujarnya.