REPUBLIKA.CO.ID, IDLIB -- Sekolah di Suriah barat laut yang dikuasai pemberontak pada Sabtu (25/2/2023) kembali dibuka setelah hampir tiga pekan ditutup akibat gempa. Banyak sekolah diubah menjadi tempat penampungan setelah gempa berkekuatan 7,8 skala ritcher melanda Turki dan Suriah pada 6 Februari.
Gempa tersebut menyebabkan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal di daerah Suriah barat laut. Konflik Suriah menyebabkan wilayah yang dikuasai pemberontak kesulitan menerima bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan.
Seorang jurnalis warga di wilayah yang dikuasai pemberontak, Abdulkafi Al-Hamdou mengatakan, kendati sekolah sudah dibuka, banyak siswa tidak masuk kelas karena rumah mereka rusak akibat gempa dan keluarga mereka sekarang tinggal jauh dari sekolah.
“Beberapa siswa khawatir berada di dalam gedung dan gelisah setiap kali mereka mendengar suara seperti meja yang bergeser. Banyak siswa menderita ketakutan dan kecemasan yang parah. Mereka masih syok," kata Al-Hamdou.
Seorang pejabat Departemen Pendidikan di wilayah Suriah barat laut, Ziad al-Omar, mengatakan 39 guru dan 421 siswa tewas akibat gempa tersebut. Dia menambahkan, sebanyak 250 sekolah mengalami kerusakan termasuk 203 yang sebagian hancur dan 46 sekolah dindingnya retak meski bangunannya masih berdiri.
Selama beberapa hari terakhir, para pengungsi diminta untuk meninggalkan sekolah dan banyak dari mereka pindah ke tempat penampungan atau ke tenda. Tapi harga tenda melonjak di tengah kekurangan dan dijual sekitar 200 dolar AS atau empat kali lipat di atas harga sebelum gempa. Sebuah tenda kokoh dengan dudukan logam dapat berharga hingga 400 dolar AS, di wilayah di mana lebih dari 90 persen penduduknya hidup dalam kemiskinan dan mengandalkan bantuan untuk makanan dan obat-obatan.
Pejabat pendidikan di Idlib yang dikuasai pemberontak mengatakan, dua jam pelajaran terakhir pada Sabtu (25/2/2023) dan Ahad (26/2/2023) akan digunakan untuk melatih siswa tentang cara mengevakuasi bangunan selama gempa bumi. Salah seorang yang kehilangan rumah akibat gempa adalah Ayesha. Dia merupakan penduduk Kota Atareb di pedesaan Aleppo yang harus mengungsi dari rumahnya untuk tinggal di tenda.
Dia mengatakan kepada The Associated Press bahwa tempat penampungan non permanen yang ditawarkan kepada keluarga besarnya yang terdiri dari 13 orang harus dikosongkan. Penyelenggara mengatakan, sekolah akan dilanjutkan dan halaman tempat tenda didirikan harus dikosongkan.
“Mereka memberi kami tenda di sekolah. Kemudian mereka mengatakan para siswa harus kembali dan mereka mulai mengevakuasi kami,” kata Ayesha yang hanya menyebutkan nama depannya seperti kebanyakan perempuan di daerah konservatif.
Ayesha menyewa sebuah rumah kecil di pinggir Kota Atareb namun empat hari setelah mereka pindah ke sana, gempa baru berkekuatan 6,4 skala ritcher melanda wilayah itu pada Senin (20/2/2023). “Untungnya rumah itu tidak runtuh, tetapi dindingnya retak,” katanya.
Sejak itu, keluarga Ayesha mendirikan tenda di tepi jalan karena takut terjadi lebih banyak gempa susulan. Menurut Pertahanan Sipil Suriah atau dikenal sebagai White Helmets, gempa menewaskan 2.274 orang dan melukai lebih dari 12.400 orang di wilayah yang dikuasai pemberontak. Gempa tersebut juga menghancurkan 550 bangunan dan merusak sedikitnya 1.570 lainnya. Total korban tewas akibat gempa diperkirakan melampaui 47.000 orang di Turki dan Suriah.