Kamis 02 Mar 2023 06:43 WIB

Dampak Pembunuhan Abby Choi, Perempuan Cina Semakin Enggan Menikah dan Punya Anak

Abby Choi, model ternama Hong Kong, dibunuh secara sadis oleh mantan suaminya.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Model Hong Kong, Abby Choi. Dia menjadi korban pembunuhan sadis yang diduga dilakukan oleh mantan suami beserta keluarganya.
Foto: Instagram Abby Choi/@xxabbyc
Model Hong Kong, Abby Choi. Dia menjadi korban pembunuhan sadis yang diduga dilakukan oleh mantan suami beserta keluarganya.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Kasus pembunuhan seorang model dan influencer ternama Hong Kong, Abby Choi, menuai reaksi keras di kalangan perempuan Cina terkait kebijakan pemerintah yang mendorong pernikahan dan memiliki anak. Selain itu, mereka juga menyoroti minimnya perlindungan bagi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga.

Selain pembunuhan Choi, para perempuan Cina juga dikejutkan oleh penikaman terhadap seorang perempuan berusia 24 tahun di pedesaan Provinsi Henan pada pekan lalu. Dia ditikam hingga tewas oleh suaminya karena perselisihan keluarga. Polisi mengatakan, pelaku telah ditangkap.

Baca Juga

Tagar 'wanita berusia 24 tahun meninggal setelah ditikam delapan kali oleh suaminya' mencatat lebih dari 200 juta tampilan di Weibo pada Selasa (28/2/2023). Media setempat melaporkan, korban di Henan yang bermarga Yang, memiliki dua anak kecil.

Pembunuhan para perempuan dari ujung spektrum sosial yang berlawanan telah mengguncang media sosial. Semakin banyak orang yang mempertanyakan seruan pemerintah untuk menikah dan mempunyai anak untuk mengimbangi krisis demografis di Cina.

“Jika kamu tidak menikah, kamu dipukuli oleh pacarmu. Jika Anda sudah menikah, suami Anda memukuli Anda.  Jika Anda bercerai, mantan suami Anda memukuli Anda. Apa yang terjadi dengan dunia ini?” tulis seorang pengguna platform media sosial, Weibo.

"Tidak menikah dan tidak punya anak memang paling aman," kata warganet Cina lainnya.

Gagasan tradisional tentang pernikahan dan kewajiban keluarga tetap kuat di Cina. Kendati demikian, banyak orang muda mulai mempertanyakan hal ini dengan mengutip pengasuhan anak yang tidak terjangkau, dukungan yang tidak memadai untuk ibu yang bekerja, dan aspirasi individualistis. Persoalan ini tecermin dalam meningkatnya angka perceraian.

Beberapa poster media sosial menyoroti sulitnya meninggalkan pernikahan yang penuh kekerasan setelah pada 2021 diberlakukan 'masa tenang' wajib selama 30 hari bagi pasangan yang ingin bercerai.

Selain itu, banyak juga yang mengkritik pola pikir konservatif yang umum di beberapa bagian pedesaan Cina, yaitu memprioritaskan pria daripada wanita. Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan gender yang mencolok dalam populasi Cina karena aborsi selektif jenis kelamin selama beberapa dekade. Cina memiliki sekitar 722 juta laki-laki dan 690 juta perempuan. 

Tragedi pembunuhan Choi dan perempuan di Henan merupakan insiden terbaru yang menimbulkan pertanyaan tentang perlakuan terhadap perempuan. Oktober lalu, Cina mengesahkan undang-undang baru tentang perlindungan perempuan yang menargetkan diskriminasi gender dan pelecehan seksual. Kendati demikian, undang-undang itu juga menyerukan perempuan untuk menghormati nilai-nilai keluarga.

Undang-undang itu muncul ketika para aktivis menyatakan keprihatinan tentang meningkatnya retorika pemerintah yang mempromosikan peran perempuan tradisional. Hal ini dipandang oleh beberapa orang sebagai kemunduran bagi hak-hak perempuan. 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement