REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan penundaan Pemilu 2024 adalah keputusan aneh dan mencurigakan. Karena itu, Perludem meminta Komisi Yudisial (KY) memeriksa tiga hakim yang membuat putusan tersebut.
"Ini aneh langkah menunda pemilu via upaya perdata di pengadilan negeri. Komisi Yudisial mestinya proaktif untuk memeriksa majelis pada perkara ini," kata Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini kepada wartawan, dikutip Jumat (3/3/2023).
Ketua Majelis Hakim yang memutuskan penundaan pemilu itu adalah T Oyong, dengan hakim anggota H. Bakri dan Dominggus Silaban. Ketiganya membacakan putusan atas gugatan perdata yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) itu pada Kamis (2/3/2023) siang.
Prima melayangkan gugatan karena merasa dirugikan oleh KPU RI dalam proses verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024. KPU diketahui menyatakan Prima tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2024. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan KPU melakukan perbuatan melawan hukum, dan menghukum KPU untuk mengulang tahapan pemilu sedari awal dalam kurun waktu 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Titi menjelaskan, hakim dilarang membuat putusan yang bertentangan dengan konstitusi. Namun, majelis hakim PN Jakpus justru menabrak konstitusi secara terang-terangan. Sebab, Pasal 22 E UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Periodisasi lima tahun sekali itu jatuh pada tahun 2024.
"PN Jakpus yang memerintahkan penundaan pemilu sampai 2025 merupakan pelanggaran terbuka terhadap amanat konstitusi," kata Dosen Hukum Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) itu. Karena itu, Titi menyebut putusan itu “aneh, janggal, dan mencurigakan”.
Titi menambahkan, majelis hakim PN Jakpus yang memutuskan perkara ini tidak hanya membuat putusan yang bertentangan dengan konstitusi, tapi juga mengadili perkara yang bukan wewenangnya. Pasalnya, dalam sistem penegakan hukum pemilu, tidak dikenal mekanisme perdata melalui Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan keberatan dalam pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu.
Saluran yang bisa tempuh partai politik hanya melalui pengajuan sengketa di Bawaslu dan upaya hukum terakhir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sistem penegakan hukum pemilu tersebut diatur secara eksplisit dalam Pasal 470 dan 471 UU Pemilu. "Jadi bukan kompetensi PN Jakpus untuk mengurusi masalah ini, apalagi sampai memerintahkan penundaan Pemilu ke 2025," kata Titi.
Sementara itu, KPU RI menyatakan bakal mengajukan banding atas putusan PN Jakpus tersebut. Terkait amar putusan menunda Pemilu 2024, KPU RI tidak akan melaksanakannya.
KPU RI menegaskan akan tetap melaksanakan tahapan Pemilu 2024 sesuai jadwal yang sudah ditetapkan dalam Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2022. KPU tetap melanjutkan tahapan pemilu karena putusan PN Jakpus tidak membatalkan Peraturan KPU Nomor 33.