REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penjualan pakaian bekas kini makin marak di berbagai kota. Dokter pun mengingatkan masyarakat bahwa ada risiko penularan infeksi saat menggunakan pakaian bekas.
"Boleh membeli dan menggunakan pakaian bekas, tapi ada yang perlu diperhatikan," kata dokter spesialis kulit dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Arini Widodo saat dihubungi Antara di Jakarta, Jumat (3/3/2023).
Dari sisi kesehatan, menurut Arini, penularan infeksi bakteri, jamur, virus, dan parasit seperti tungau dan kutu berpotensi menyebar melalui pakaian bekas. Menurut anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia itu, pakaian bekas tidak bisa dijamin kebersihannya, baik dari proses penjualan, pengiriman, maupun kebersihan dari pemakai sebelumnya.
Beberapa penyakit yang dapat dibawa oleh agen infeksi itu di antaranya ialah scabies dan eksim. Bahkan, pada forum-forum kesehatan, Arini mengatakan pernah ditemukan virus pernapasan seperti rhinovirus, virus influenza, dan virus-virus lainnya pada pakaian bekas.
Selain itu, pada pakaian bekas juga biasanya disemprotkan fumigant atau bahan kimia lainnya untuk mencegah dan mengendalikan infeksi. Namun, menurut Arini, penyemprotan tersebut malah dapat menimbulkan efek samping lain jika uapnya terhirup secara terus-menerus.
"Biasanya, efek yang bisa timbul antara lain sakit kepala, pusing, vertigo, mual, muntah, penglihatan kabur, dan bahkan mungkin bisa kejang-kejang," ujar Arini.
Di samping itu, Arini menyebut bahan kimia tersebut juga dapat membuat kulit iritasi dan mencetuskan alergi pada beberapa orang yang sensitif. Meski demikian, Arini menuturkan bahwa besaran risiko infeksi akibat menggunakan pakaian bekas tentu sangat tergantung pada proses disinfeksi.
"Kalau disinfeksinya benar, risikonya sedikit. Sebaliknya, jika disinfeksinya tidak dilakukan dengan benar, pasti risikonya besar," katanya.