Sabtu 04 Mar 2023 07:08 WIB

Muslim Cambridge Merasa tak Aman Sejak Masjid Dirusak

Muslim diminta berkelompok saat menuju dan dari masjid.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Ani Nursalikah
Sejumlah jamaah sedang menunaikan shalat fardhu di Masjid Abu Bakr Cambridge, Inggris. Muslim Cambridge Merasa tak Aman Sejak Masjid Dirusak
Foto: Dok SBBI
Sejumlah jamaah sedang menunaikan shalat fardhu di Masjid Abu Bakr Cambridge, Inggris. Muslim Cambridge Merasa tak Aman Sejak Masjid Dirusak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komunitas Muslim di Cambridge, Kanada mengaku merasa tidak aman sejak masjid mereka dirusak pekan lalu. Pada pagi hari 22 Februari, anggota Masjid Hespeler datang ke masjid Winston Boulevard dan mengetahui tempat ibadah mereka telah dirusak.

Hal itu membuat banyak orang merasa khawatir dan takut. Sebuah batu dilemparkan melalui jendela ruang bawah tanah.

Baca Juga

Presiden Masjid, Waqas Bhutta, berpendapat tindakan yang disengaja itu bermotivasi kebencian. Sembari masih menanti hasil penyelidikan polisi, Muslim di Cambridge berupaya lebih waspada. 

 

"Masih diselidiki jadi saya tidak tahu pasti, tapi kami semua lebih berhati-hati saat pergi ke mobil kami," kata Bhutta seperti dilansir Iqna.ir pada Sabtu (4/3/2023). 

 

Pengurus merekomendasikan agar masyarakat yang menuju masjid atau pulang dari masjid agar dalam kelompok dan menghindari melakukannya sendiri. Direktur Eksekutif Koalisi Wanita Muslim KW (CMW-KW) Sarah Shafiq menilai jikalau serangan tersebut tidak ada motif kebencian, namun serangan itu tetap menimbulkan ketakutan ke tingkat yang lebih tinggi.

 

“Menjadi kelompok sasaran tradisional, ketika tindakan seperti ini terjadi meskipun tidak bermotivasi kebencian, itu menimbulkan ketakutan dan hilangnya rasa aman,” kata Shafiq. 

 

Menurutnya Islamofobia telah meningkat di wilayah tersebut. Ini melihat beberapa insiden yang dilaporkan menggunakan alat pelaporan online CMW-KW di wilayah tersebut tahun ini. 

 

“Ada dua laporan di pusat kota Kitchener pada bulan Februari di mana jilbab wanita Muslim ditarik. Ini adalah kejahatan rasial,” katanya. 

 

Wanita Muslim khususnya lebih sering menjadi sasaran, terutama jika mereka mengenakan jilbab. Inilah alasan lain mengapa Bhutta dan presiden Masjid Hespeler merekomendasikan wanita yang meninggalkan masjid untuk tetap berkelompok. 

 

Sementara itu polisi tidak mau berkomentar apakah kasus tersebut sebagai kejahatan rasial, tetapi laporan baru-baru ini menyatakan polisi sedang mencari informasi terkait insiden tersebut. 

 

Sedangkan lembaga StatsCan melaporkan kejahatan kebencian terkait Muslim menurun, dari 182 pada 2019 menjadi hanya 82 pada 2020. Tapi Shafiq mengatakan angka itu tidak memberikan gambaran yang akurat tentang masalah ini karena banyak komunitas Muslim tidak melaporkan kejahatan rasial kepada polisi karena mereka merasa itu terlalu sering sia-sia. Hal itu salah satu alasan yang mendorong pembuatan alat pelaporan online koalisi. 

 

“Hanya 25 persen dari kejahatan rasial ini yang dilaporkan oleh masyarakat dan hanya satu persen yang benar-benar diselidiki oleh polisi. Ada kurangnya kepercayaan bahwa jika mereka melaporkan apa yang sedang terjadi, itu benar-benar akan memberikan hasil yang menguntungkan, jadi mereka tetap diam," katanya.

 

Bhutta dan Masjid ingin melihat siapa pun yang merusak masjid mereka ditangkap dan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka. 

 

"Jika seseorang berada di dalam ruangan saat batu itu masuk, itu bisa sangat buruk, itu bukan batu kecil. Saya hanya berharap polisi dapat menemukan siapa yang melakukan ini sehingga kita bisa sedikit santai," katanya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement