REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memutuskan pidana 1 tahun 6 bulan (18 bulan) penjara terhadap Ketua Panpel Arema FC, Abdul Harris mendapatkan respons dari korban tragedi Kanjuruhan melalui tim pengacara. Vonis tersebut lebih rendah dibandingkan tuntutan 6 tahun 8 bulan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Koordinator Tim Advokasi Tragedi Kemanusiaan (TATAK), Imam Hidayat mengatakan, vonis lebih rendah tersebut sebenarnya sudah diprediksi sejak awal. "Artinya tidak ada keseriusan persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya," kata Imam saat dikonfirmasi Republika, Kamis (9/3/2023).
Menurut Imam, vonis ini dapat diubah apabila jaksa mengajukan banding. Maka itu, pihaknya masih menunggu apakah jaksa akan melakukan banding atau tidak. Jika tidak melakukannya, maka ini membuktikan bahwa keadilan di Tragedi Kanjuruhan tidak pernah didapatkan oleh keluarga korban sehingga sangat disayangkan.
Berdasarkan situasi tersebut, maka Imam pun mendorong Presiden RI Joko Widodo untuk segera turun tangan. Pihaknya menuntut adanya keadilan yang dapat diterima para korban Tragedi Kanjuruhan. Dia dan para korban tidak ingin usaha yang telah dilakukan untuk menuntut keadilan menjadi sia-sia.
Pada kesempatan tersebut, Imam juga turut menyinggung terdakwa lain yang akan mendapatkan vonis dalam waktu dekat. Para terdakwa tersebut diketahui mendapatkan tuntutan penjara tiga tahun. Jika melihat fenomena vonis Abdul Harris, maka pihaknya khawatir para terdakwa justru akan dibebaskan.
"Maka itu, boleh usul bebaskan saja semua terdakwa di Pengadilan Negeri negeri Surabaya. Lebih baik kita fokus model laporan B tentang (pasal) 338 maupun (pasal) 340," kata dia menambahkan.
Seperti diketahui, para korban Tragedi Kanjuruhan dan Aremania serta tim pengacara telah mengajukan laporan agar para terdakwa dapat dikenakan pasal 340 dan 338 KUHP. Pasal-pasal tersebut berisi tentang pembunuhan dan pembunuhan berencana. Namun hingga kini, laporan tersebut tidak kunjung ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.