REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah memberi sanksi kepada Rafael Alun Trisambodo (RAT) berupa pemecatan dan tidak menerima uang pensiun. Hukuman itu diberikan karena mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu terbukti melakukan pelanggaran berat.
Hanya saja, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, sanksi itu masih belum ideal. Alasannya, kasus transaksi pencucian uang RAT cukup fantastis.
Menurutnya, kasus seperti RAT perlu mendapat sanksi seperti di China. Perlu diketahui, di Negeri Tirai Bambu pegawai yang ketahuan korupsi mendapat sanksi dimiskinkan.
Sanksi serupa, kata Bhima, perlu diterapkan di Indonesia agar ada efek jera. "Jadi di samping pemerintah mengambil jalan untuk mendorong penyidikan korupsi, suap secara lebih cepat, pemerintah juga bisa menjatuhkan sanksi berupa pengembalian harta RAT kepada negara," ujar dia saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (9/3/2023).
Hal itu, lanjutnya, bisa dilakukan dengan metode pengurangan harta yang ditetapkan sebagai transaksi mencurigakan dikurangi dengan gaji dan tukin selama menjabat di DJP. Sisa dari harta tadi harus disita oleh negara dan dipergunakan untuk belanja belanja sosial misalnya.
"Cara untuk memiskinkan penyelenggara negara yang terbukti melakukan tindakan seperti RAT bisa meningkatkan kembali kepercayaan terhadap pembayar pajak. Jangan sampai kasus RAT ini laten karena sepertinya bukan hanya di satu instansi," tegas Bhima.
Sementara, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyatakan, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) di Indonesia tidak mengatur sanksi berupa memiskinkan pegawai yang melakukan pelanggaran. "Kita kan bekerja dengan undang-undang dan tidak bisa pakai undang-undang China," jelasnya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (8/3/2023).
Ia mengatakan, saat ini kasus RAT masih diproses di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lainnya. Maka, kata Prastowo, kelanjutan hukuman RAT masih ditunggu.