Oleh : Aad Satria Permadi*
REPUBLIKA.CO.ID, Saya teringat ucapan Menkopolhukam, Prof Mahfud MD tentang perbandingan korupsi yang terjadi saat Orde Baru (Orba) dan pasca reformasi. Beliau mengatakan bahwa korupsi pascareformasi jauh lebih 'gila' daripada zaman Orba.
Zaman Orba, DPR, gubernur, pemda, dan bupati tidak (berani) korupsi. Andai ada di antara mereka yang korupsi, semuanya sudah dikoordinasi oleh 'pusat'. Sedangkan pascareformasi (sampai hari ini), semua pihak berani korupsi sendiri-sendiri. Anggota DPR dan DPRD korupsi sendiri, hakim MA korupsi sendiri, sampai kepala daerah pun korupsi sendiri.
Kondisi korupsi yang 'gila' tersebut disebabkan oleh bebasnya sistem demokrasi, sehingga kontrol pemerintah juga semakin lemah. Paling tidak, itulah yang beliau sampaikan dalam dialog dengan Rektor UGM dan pimpinan PTN/PTS seluruh Yogyakarta 5 Juni 2021 lalu.
Korupsi pascareformasi memang lebih gila, seperti yang dikatan Prof Mahfud. Dulu, ada Gayus Tambunan. Aparatur Sipil Negara (ASN) Direktorat Jenderal Pajak golongan 3A, usianya kala itu (2011) baru 31 tahun, sudah punya kekayaan sekitar Rp 74 miliar. Padahal gajinya hanya 145,2 juta rupiah per tahun.
Anggap saja ditambah tunjangan dan tetek bengek lainnya, 200 juta rupiah per tahun. Dengan take home pay sebanyak itu, Gayus memerlukan waktu 370 tahun untuk dapat mengumpulkan Rp 74 miliar. Andai si Gayus adalah investor ulung, ia perlu menemukan investasi yang mampu memberinya keuntungan 700-an persen per tahun. Itu pun dengan asumsi dia tidak makan dan minum selama sembilan tahun.
Hari ini ada Rafael Alun Trisambodo, Andhi Pramono, dan Sudarman Hardjasaputra. Ketiganya juga ASN. Mereka sedang disorot publik karena dugaan penyelahgunaan wewenang untuk korupsi. Ada juga rektor-rektor perguruan tinggi yang ditangkap KPK karena korupsi. Belum lagi kasus-kasus di desa-desa yang tidak viral.
Artinya, pascareformasi, korupsi sudah tidak dimonopoli pemerintah pusat. Korupsi sudah sampai ke desa-desa. Tidak lagi dimonopoli oleh aparat negara, tapi sudah sampai ke perguruan tinggi yang katanya menjadi lembaga yang integritasnya tinggi. Bukan lagi hanya dilakukan orang berpangkat tinggi, golongan 3A saja sudah bisa kaya-raya kalau mau korupsi. Maka ada ungkapan di masyarakat, "Dulu Soeharto satu, sekarang semuanya Soeharto".
Psikologi 'Kasih Tak Sampai'
Soeharto, beliau jadi ikon korupsi Indonesia, walaupun belum pernah terbukti di persidangan. Beliau dijatuhkan oleh gerakan reformasi, juga karena alasan korupsi. Namun, pascareformasi, terbukti korupsi lebih merajalela. Yang dulunya teriak-teriak anti Soeharto, ternyata sama saja ketika menjabat.
Saat reformasi, secara nasional masyarakat Indonesia menunjukkan sikap antikorupsi. Mungkin jika direduksi, yang tampak adalah anti-Soeharto. Semua orang seakan antikorupsi dan anti-Soeharto. Mudah ditemukan, dan mereka ada dimana-mana. Sikap antikorupsi pasca reformasi melahirkan tokoh-tokoh dan pejabat-pejabat nasional yang hari ini tertangkap KPK. Bagaimana mungkin, masyarakat dengan kesadaran antikorupsi melahirkan tokoh dan pejabat koruptor?
Jika kita telisik lebih teliti, sikap antikorupsi yang tumbuh pascareformasi bukan digerakkan dari kesadaran antikorupsi. Namun, kesadaran bahwa 'korupsi itu menyenangkan'. Sikap seakan-akan antikorupsi sebanarnya adalah keinginan korupsi yang tidak sampai.
Seperti ungkapan 'kasih tak sampai', lelaki yang membenci seorang wanita cantik, boleh jadi ia adalah pria yang paling mencintai perempuan itu, namun cintanya tak sampai. Oleh karenanya, ahli-ahli psikologi sering mengungkapkan sebuah pernyataan, "Sesuatu yang berlebihan, akan menimbulkan efek psikologis yang berkebalikan. Jika terlalu gembira, justru menyebabkan seseorang menangis. Terlalu sedih, sering membuat orang tertawa-tawa sendiri. Terlalu ingin seperti koruptor yang cepat kaya, maka munculah kesadaran seakan-akan antikorupsi."
Itulah sebabnya, orang-orang yang dulunya teriak-teriak antikorupsi dan anti-Soeharto, ketika menjabat justru melakukan korupsi. Mereka sebenarnya hanya sangat ingin (dengan level psikologis berlebihan) hidup mewah seperti keluarga Soeharto, tapi dulu tidak kesampaian. Maka saat ada kesempatan, mereka melakukan apa yang dulunya mereka benci. Maka tidak salah jika anak muda tahun 1980-an menjelaskan 'benci' sebagai 'benar-benar cinta'. Benci korupsi bukan selalu berarti tidak ingin korupsi, tapi justru dapat berarti mencintai korupsi namun tidak kesampaian.
Kita juga dapat mendapatkan bukti dengan mudah, bahwa masyarakat sebenarnya tidak membenci, bahkan pingin korupsi. Contoh, masyarakat sering marah jika ada orang korupsi dengan jumlah uang yang banyak semisal Rp 500 miliar, namun tidak marah jika uang kas desa dibuat jajan bakso seharga Rp 10 ribu.
"Ah, Cuma sepuluh ribu aja kok dipermasalahkan," kata mereka. Ini menunjukkan bahwa yang dibenci bukan perilaku korupsinya, namun jumlah uang yang 'hilang'. Bahkan dalam kasus-kasus lain,banyak orang yang menunjukkan rasa iri dan dengki terhadap koruptor, namun kata-katanya seakan-akan membenci perilaku korupsi.
Mungkin kita sering mendengar kalimat-kalimat seperti, "Enak ya, udah korupsi banyak hukumannya sedikit", atau "Enak banget jadi koruptor di Indonesia, yang dikorupsi banyak tapi gak dihukum-hukum". Ungkapan 'enak' dalam kalimat tersebut, menunjukkan bahwa korupsi dianggap sebagai perbuatan yang membawa kenikmatan ketika tidak ketahuan, atau ketika tidak mendapatkan punishment. Bayangkan kalau orang-orang ini jadi pejabat dengan lingkungan koruptif dan yang tahu bagaimana caranya 'menjinakkan' aparat penegak hukum. Ya, jadinya seperti sekarang ini, persis seperti kata Prof Mahfud MD.
Problem Masa lalu dan Masa Depan
Korupsi sebenarnya adalah penyakit mental. Alasannya karena pelakunya sudah tercerabut empati sosialnya. Ia tidak mampu lagi berempati terhadap orang-orang yang dirugikan karena perbuatan koruptifnya tersebut. Koruptor juga dapat dikatakan sakit mental karena ia sudah kehilangan kontrol diri dan rasa malu.
Secara umum, penyakit mental itu hanya terjadi karena dua hal: trauma masa lalu atau kekhawatiran berlebihan akan masa depan. Begitu juga dengan korupsi. Korupsi dapat disebabkan oleh trauma masa lalu yang berkaitan erat dengan problem ekonomi.
Orang yang pernah sakit hati dilecehkan karena kemiskinannya, akan menjadi sangat berhasrat untuk menjadi kaya dalam waktu singkat. Segala macam cara ditempuh agar bisa kaya mendadak. Harus cepat kaya, karena kemiskinan adalah trauma yang menyiksanya setiap hari. Oleh karenanya, orang yang tidak tahan dengan trauma masa lalu itu, akan terdorong untuk korupsi, sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimilikinya.
Sebagai contoh, orang yang kemampuan dan kesempatannya sebagai kasir minimarket, ia akan mempercepat proses menjadi kaya dengan menguntit uang konsumen atas nama 'donasi' yang tidak dicetak dalam struk belanja.
Donasi hanya Rp 100 per konsumen. Namun kalau sehari ada seribu orang yang belanja di minimarketnya, maka dalam sehari kasir koruptor ini bisa mengumpulkan Rp 100 ribu. Sebulan bisa Rp 3 juta. Dengan pemasukan tambahan tiga juta sebulan, koruptor minimarket ini membayangkan dapat menyudahi bayang-bayang cemoohan orang lain. Ia membayangkan bisa kredit kendaraan sebagai simbol kekayaan, dan mengakhiri trauma masa lalunya yang selalu dicemooh sebagai orang miskin.
Untuk contoh-contoh lain, logikanya sama. Trauma itu menyakitkan, dan butuh obat penenang yang instan. Obat penenang itu adalah simbol-simbol kekayaan yang hanya dapat diperoleh segera dengan korupsi. Pejabat yang punya trauma masa lalu sejenis kasir minimarket di atas, tentu akan melakukan hal yang sama. Mengambil uang tambahan yang bukan haknya, untuk menyudahi trauma masa lalu. Biasanya juga uang korupsi itu dibelikan barang-barang mewah. Sebenarnya itu hanya obat trauma masa lalunya saja.
Bisa juga korupsi karena adanya kekhawatiran berlebihan akan masa depan. Orang yang khawatir masa depannya atau masa depan keluarganya suram, akan terdorong untuk segera mencari 'tambahan penghasilan'.
Orang yang tidak terlalu khawatir dengan masa depan, akan lebih memilih jalan-jalan halal dalam menambah penghasilan. Namun orang yang kekhawatirannya berlebihan, yang diperhitungkan bukan halal-haram, namun bagaimana caranya mendapatkan 'penghasilan tambahan' sebanyak-banyaknya. Mau itu halal atau haram, masa bodoh! Jika orang yang punya kekhawatiran berlebih ini menduduki jabatan tertentu, maka ia akan menggunakan jabatannya itu untuk mencari 'penghasilan tambahan' tersebut.
Sudah banyak contohnya. Uang hasil korupsi dipakai untuk menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Ke sekolah terbaik dunia dengan biaya tinggi. Itu dilakukan karena khawatir anaknya tidak dapat pekerjaan yang layak. Ada juga uang korupsi yang dipakai untuk investasi. Bahkan ada juga koruptor yang khawatir ditinggal pergi istrinya yang cantik. Sehingga uang korupsinya habis untuk membiayai kecantikan istrinya tersebut. Intinya, khawatir berlebihan terhadap masa depan, dapat mendorong manusia-manusia tertentu, untuk korupsi.
Orang yang Mampu Hidup di 'Hari Ini' dan Kecerdasan Spiritual
Kalau asumsinya cikal-bakal korupsi berkaitan erat dengan trauma masa lalu dan kekhawatiran masa depan, maka orang yang potensi korupsinya kecil adalah mereka yang mampu hidup di 'hari ini'. Maksudnya, kehidupan mereka tidak dipengaruhi trauma masa lalu dan kekhawatiran masa depan yang berlebihan.
Agar mempunyai kualitas 'hari ini', individu perlu memiliki kecerdasan spiritual. Minimal memiliki kecerdasan syukur dan tawakal. Syukur akan membawa manusia pada rasa ketercukupan. Individu yang pandai bersyukur akan merasa bahwa apa yang mereka dapatkan sudah cukup untuk berkehidupan layak. Bahkan rasa syukur mampu menjadikan individu 'malu' untuk meminta yang berlebihan kepada Allah. Jangankan korupsi, ingin yang lebih saja, sudah merasa malu.
Sedangkan tawakal akan menjadikan individu menggantungkan segala sesuatu kepada Allah. Orang-orang yang tawakal memiliki kemampuan untuk meyakini bahwa beban hidup tidak diberikan oleh Allah, kecuali manusia mampu menanggungnya. Sehingga mereka tidak khawatir menjalani hidup. Trauma masa lalu tidak menghantui mereka, karena mereka yakin andai kejadian serupa terjadi lagi, mereka mampu menghadapinya.
Orang-orang tawakal juga tidak khawatir akan masa depan, karena masa depan pun juga dirancang Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Korupsi yang dilakukan oleh kebanyakan orang untuk menghilangkan trauma masa lalu dan kekhawatiran masa depan. Namun, bagi orang-orang yang cerdas spiritual, trauma dan kekhawatiran tersebut dihilangkan dengan dua tools utama: syukur dan tawakal. Sehingga, tidak ada alasan korupsi bagi mereka.
Korupsi di Indonesia dapat lebih cepat berkurang jika negara dan seluruh komponen masyarakat berkomitmen untuk membina kecerdasan spiritual. Secara kelembagaan, concern terhadap pencegahan korupsi melalui peningkatan kecerdasan spiritual dapat dimulai dari sekolah.
Pendidikan agama perlu dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga memunculkan insan-insan yang cerdas secara spiritual. Pendidikan agama jangan hanya berhenti pada hafalan-hafalan dalil semata, perlu dicari formula baru agar dalil-dalil tersebut tidak berhenti di lisan, namun dapat menghujam di hati dan pikiran anak didik. Pendidikan serupa juga perlu dilakukan di setiap lembaga masyarakat dan pemerintahan.
Dengan demikian, korupsi pada dasarnya adalah buah dari ketidakcerdasan spiritual. Dan reformasi indonesia masih belum mencapai tujuannya karena para reformis belum terlalu cerdas secara spiritual. Awalnya anti-Soeharto, begitu dapat jabatan malah lebih korup dari Soeharto.
Untuk itu, perlu pengarus-utamaan kecerdasan spiritual di keluarga, sekolah, masyarakat, dan struktur pemerintahan, agar tujuan reformasi dapat tercapai. Agar masyarakat tetap percaya pada progresivitas dan ide-ide perubahan. Dan agar masyarakat tidak kangen dengan, "...penak jamanku tho...".
*Penulis adalah Dosen Psikologi Politik, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)