Jumat 17 Mar 2023 16:20 WIB

Krisis Lebanon Memburuk, Sekolah-Sekolah Kosong dan Ratusan Ribu Siswa Drop Out

Lebanon menghadapi krisis terburuk sepanjang sejarah

Rep: Dwina Agustina/ Red: Nashih Nashrullah
Siswa berada di pintu masuk sekolah negeri di Beirut, Lebanon (Ilustrasi). Lebanon menghadapi krisis terburuk sepanjang sejarah
Foto: REUTERS/Mohamed Azakir
Siswa berada di pintu masuk sekolah negeri di Beirut, Lebanon (Ilustrasi). Lebanon menghadapi krisis terburuk sepanjang sejarah

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT – Pada hari sekolah baru-baru ini, Sekolah Menengah Atas (SMA) Rene Mouawad di Beirut kosong, ruang kelasnya gelap. Kondisi ini terjadi di semua sekolah umum Lebanon selama hampir tiga bulan terakhir. 

Para guru-guru sekolahan mogok memprotes di depan Kementerian Pendidikan, tak jauh dari situ. Sekitar seratus guru bergabung dalam demonstrasi, memblokir lalu lintas dan memegang plakat menuntut kenaikan gaji. 

Baca Juga

“Kami selesai dengan amal. Kami tidak bernegosiasi lagi. Mereka harus membayar kami dengan benar atau pulang," kata kepala serikat guru kontraktor Nisreen Chahine. 

Para guru memberikan pidato menuntut pejabat keluar dan berbicara dengan mereka. Namun seperti biasa dalam protes reguler, tidak ada seorang pun dari Kementerian Pendidikan yang muncul. Setelah beberapa jam, para guru berkemas dan pulang. 

Sekolah-sekolah Lebanon runtuh di bawah beban keruntuhan ekonomi negara karena kepemimpinan politik menolak mengambil tindakan apa pun untuk menyelesaikannya. 

Sejak kehancuran dimulai pada akhir 2019, lebih dari tiga perempat dari enam juta orang Lebanon telah jatuh ke dalam kemiskinan, aset mereka menguap karena nilai mata uang menyusut, dan inflasi naik pada salah satu tingkat tertinggi di dunia. 

Sebagian besar anak-anak di negara itu tidak bersekolah selama berbulan-bulan. Kondisi ini akibat para guru tidak mendapatkan gaji yang seharusnya dibayarkan sehingga mereka tidak dapat lagi hidup dengan gaji dan melakukan pemogokan pada Desember.

Padahal Lebanon pernah dikenal karena menghasilkan tenaga kerja yang sangat terampil dan berpendidikan. 

Namun sekarang seluruh generasi kehilangan sekolah, menimbulkan kerusakan jangka panjang pada prospek ekonomi dan masa depan negara. 

Para guru menyerukan pemogokan karena gaji dalam pound Lebanon menjadi terlalu rendah untuk menutupi biaya sewa dan biaya pokok lainnya. Pound telah naik dari 1.500 untuk satu dolar AS sebelum krisis menjadi 100 ribu pound untuk mendapatkan satu dolar saat ini. 

Sebagian besar guru sekarang dibayar setara dengan sekitar satu dolar AS per jam, bahkan setelah beberapa kali kenaikan gaji sejak 2019. Sedangkan toko kelontong dan bisnis lain sekarang biasanya memberi harga barang dalam dolar. 

Guru menuntut penyesuaian gaji, tunjangan transportasi, dan tunjangan kesehatan. Pemerintah hanya menawarkan untuk menutupi sebagian transportasi, dengan alasan tidak memiliki anggaran lebih. 

Meskipun sebagian sekolah dibuka kembali pekan lalu setelah beberapa guru kembali bekerja, sebagian besar memilih untuk terus melakukan pemogokan. 

Bahkan sebelum krisis, investasi Lebanon di sekolah umum masih terbatas. Menurut Bank Dunia, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan hanya setara dengan 1,7 persen dari PDB Lebanon pada 2020, salah satu tingkat terendah di dunia. 

Anggaran 2022 mengalokasikan 3,6 triliun lira Lebanon untuk pendidikan atau setara dengan sekitar 90 juta dolar AS pada saat anggaran disahkan pada Oktober. 

Jumlah ini kurang dari setengah anggaran 182 juta dolar AS untuk pendidikan dari program kemanusiaan yang didanai donor.

Pemerintah selama bertahun-tahun mengandalkan sekolah swasta dan amal untuk mendidik anak-anak. Badan-badan kemanusiaan dibayar untuk menutupi gaji dan menjaga agar infrastruktur yang bobrok tetap berfungsi. 

Sebanyak dua pertiga anak Lebanon pernah bersekolah di sekolah swasta. Namun ratusan ribu putus sekolah dalam beberapa tahun terakhir karena sekolah swasta harus menaikkan biaya sekolah untuk menutupi biaya yang melonjak. Sekolah negeri dan swasta berjuang untuk tetap menyalakan lampu karena biaya bahan bakar meningkat. 

Baca juga: Muhammadiyah Resmi Beli Gereja di Spanyol yang Juga Bekas Masjid Era Abbasiyah

Menurut UNICEF, bahkan sebelum pemogokan, lebih dari 700 ribu anak di Lebanon, banyak dari mereka pengungsi Suriah, tidak bersekolah karena krisis ekonomi. Dengan pemogokan itu, 500 ribu anak tambahan bergabung dengan barisan mereka. 

“Itu berarti kita sekarang melihat anak-anak berusia 10, 12, 14 tahun dan mereka bahkan tidak dapat menulis nama mereka sendiri atau menulis kalimat dasar,” kata Wakil Perwakilan UNICEF untuk Lebanon Ettie Higgins. 

UNICEF mengatakan pada pekan lalu, telah memberikan hampir 14 juta dolar AS untuk membantu lebih dari 1.000 sekolah umum membayar staf. Namun, pemimpin Lebanon harus melakukan perubahan untuk mengatasi masalah pendidikan.    

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement