REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Pemerintah diharapkan untuk terus memaksimalkan pemenuhan hak anak dengan sindroma Down melalui kebijakan yang sudah ada, terutama memaksimalkan penerapan kebijakan yang inklusif tersebut hingga tingkat pemerintahan paling bawah, yaitu pemerintah desa.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Diyah Puspitarini memandang sebetulnya sudah banyak kebijakan pemerintah yang mengakomodasi hak-hak anak berkebutuhan khusus yang di dalamnya bisa mencakup sindroma Down hanya saja penerapan di tingkat paling bawah masih perlu ditingkatkan dan menjadi pekerjaan rumah bersama.
"Tinggal bagaimana yang kebijakan ini diterapkan dan dilaksanakan sampai level paling bawah, pemerintahan paling bawah, yakni pemerintah desa. Persoalannya di situ," kata Diyah.
"Maka ini menjadi tugas kita bersama, ya. Ada KPAI terutama untuk anak-anak, kemudian sudah ada Komisi Nasional Disabilitas (KND) itu juga menjadi pengawas dari penerapan kebijakan ini. Kemudian juga semua pihak saya kira harus aware dan harus proaktif untuk melakukan pengawasan," kata Diyah menambahkan.
Diyah menilai pemerintah masih perlu meningkatkan kembali upaya pemenuhan hak anak dengan sindroma Down mengingat masih adanya pengaduan atau laporan kasus yang diterima KPAI.
Dalam hal ini, upaya peningkatan pemenuhan hak yang dilakukan pemerintah dapat melibatkan lintas kementerian seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek); Kementerian Sosial; Kementerian Kesehatan; dan seterusnya.
KPAI pada 2022 menerima 123 pengaduan kasus anak-anak disabilitas, salah satunya juga mencakup anak dengan sindroma Down. Diyah menilai ada kemungkinan masih banyak orang tua atau masyarakat yang tidak melakukan pengaduan atas kekerasan yang dialami anak dengan down syndrome.
Anak dengan sindroma Down sangat rentan menjadi korban kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, bahkan kekerasan seksual. Oleh sebab itu, KPAI menilai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum harus dipenuhi pada anak dengan sindroma Down.
Di bidang hak sipil dan partisipasi politik, mereka juga berhak mendapatkan catatan kelahiran atau pengurusan akta kelahiran serta memiliki hak pilih apabila telah berusia 17 tahun.
Anak dengan sindroma Down juga harus diberikan bekal untuk berinteraksi sosial dan bekal kemandirian ekonomi melalui pelatihan keterampilan. Diyah berharap mereka tetap tumbuh hingga dewasa yang tidak berbeda dengan orang normal pada umumnya dengan bekal tersebut.
Di bidang pendidikan dan kesehatan, anak dengan sindroma Down juga berhak mendapatkan hak-haknya melalui prioritas ketersediaan dan keterbukaan akses seperti akses ke sekolah inklusif ataupun sekolah luar biasa (SLB) bahkan perguruan tinggi, akses pendidikan agama, akses pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi, hingga akses pelayanan kesehatan.
Yang tak kalah penting, menurut Diyah, adalah hak atas mendapatkan pengasuhan yang baik yang diberikan orang tua. Selain itu, masyarakat juga harus menerima keberadaan anak dengan sindroma Down dan menganggap mereka tidak berbeda dengan anak-anak lainnya.
"Siapa pun yang memiliki dan ada anak down syndrome terlahir di keluarga atau masyarakat itu harus diberikan kesempatan yang sama dan diterima apa adanya, kemudian juga dianggap biasa saja," kata Diyah.