Kamis 30 Mar 2023 17:14 WIB

MK Tolak Gugatan UU MK Soal Pemecatan Aswanto

Mahkamah berpendapat permohonan pemohon kabur dan karenanya tidak dapat diperiksa.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Teguh Firmansyah
Mahkamah Konstitusi
Foto: Amin Madani/Republika
Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) tidak dapat diterima. Pengujian ini berkaitan pemecatan hakim MK Aswanto. 

Perkara nomor Nomor 17/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh advokat atas nama Zico Leonard Djagardo. Perkara ini pun sempat menuai perhatian publik karena diwarnai skandal perubahan putusan. 

Baca Juga

"Mengadili, Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan pada Kamis (30/3/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.

Dalam pertimbangan hukum, Hakim MK Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan, pada dasarnya pemohon hendak mengatakan bahwa pemberhentian “… oleh Lembaga Pengusung karena menganulir atau membatalkan Produk Hukum yang dibuat oleh Lembaga Pengusung” seharusnya tidak termasuk sebagai alasan pemberhentian dengan hormat yang diatur Pasal 23 ayat (1) UU MK.

Menurut MK, dilihat dari sistematika UU MK, Pasal 23 secara khusus mengatur mengenai alasan pemberhentian hakim konstitusi. Pasal 23 ayat (1) mengatur alasan pemberhentian dengan hormat. Sedangkan Pasal 23 ayat (2) mengatur alasan pemberhentian tidak dengan hormat.  

"Jika alur penalaran permohonan pemohon diikuti maka rumusan Pasal 23 ayat (1) UU MK akan memuat lima alasan pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi (yang dirumuskan dalam huruf a, b, c, d, dan e) sekaligus satu alasan (yang dimohonkan Pemohon) yang tidak termasuk dalam kategori pemberhentian dengan hormat," ujar Daniel. 

"Artinya dalam satu nafas, ayat (1) dari Pasal 23 UU MK akan sekaligus memuat dua kategori yang bertolak belakang, yaitu kategori pemberhentian dengan hormat yang dianggap Pemohon konstitusional dan kategori pemberhentian yang dianggap Pemohon inkonstitusional," lanjut Daniel.

MK memandang penyatuan dua kategori konstitusionalitas potensial memunculkan kontradiksi yang pada akhirnya Pasal 23 ayat (1) UU MK justru tidak lagi dapat dilaksanakan.  "Yang tentunya justru merugikan Pemohon dan masyarakat karena pengaturan mengenai alasan pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi tidak lagi dapat diterapkan," ujar Daniel. 

Penambahan makna baru, lanjut Daniel, hanya dimungkinkan untuk dilakukan kepada rumusan norma yang mempunyai kedekatan konteks dengan makna baru yang hendak ditambahkan. Kemudian hasil penambahan makna tersebut tidak membuat makna keseluruhan menjadi kabur. 

Selain itu, MK berpandangan petitum yang diajukan Zico terlihat sebagai pemaknaan dalam dua langkah. Yaitu memberikan tambahan makna bagi Pasal 23 ayat (1) UU MK berupa alasan pemberhentian dan Pasal 23 ayat (1) UU MK yang sudah dilekati tambahan makna tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pola pemaknaan inkonstitusionalitas bersyarat yang demikian menurut MK jika diikuti dan diterapkan akan menyulitkan masyarakat dalam memahami Pasal 23 ayat (1) UU MK. 

"Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon kabur dan karenanya permohonan Pemohon tidak dapat diperiksa dan/atau dipertimbangkan lebih lanjut," ucap Daniel.

Sebelumnya, Zico dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (16/2/2023) mengungkapkan sebagai pihak yang berperkara di MK sangat membutuhkan independensi hakim konstitusi dalam memutus perkara. Oleh karena itu, ketika DPR mengintervensi MK dengan mengganti hakim yang menjadi “wakil” mereka, hal ini melanggar hak-hak konstitusional Zico untuk mendapatkan keadilan melalui kekuasaan kehakiman yang merdeka. 

Dalam petitum pokok perkara, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 23 ayat (1) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai “termasuk juga ditarik (di-recall) oleh lembaga pengusungnya dengan alasan tidak disukai oleh lembaga pengusungnya karena mematikan produk yang dibuat oleh lembaga pengusungnya”.

Kemudian, menyatakan Pasal 23 ayat (2) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “termasuk juga mengubah substansi dalam putusan yang telah dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum”.

Di sisi lain, Zivo mengungkapkan keterkejutannya ketika menonton ulang rekaman sidang pengucapan Putusan Nomor 103/PUU-XX/2022, dan membaca file putusan beserta risalah sidangnya. Dia mendapati adanya perbedaan saat pengucapan putusan dengan file putusan dan risalah sidang yang diunggah di laman MK. Belakangan, Majelis Kehormatan MK hanya menjatuhi sanksi teguran terhadap hakim Guntur Hamzah yang menggantikan Aswanto. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement