Selasa 04 Apr 2023 21:03 WIB

PBNU Siapkan Platform Sebagai Medium Ulama Dunia Temukan Kata Putus

PBNU menjadikan fiqih peradaban sebagai upaya membangun peradaban bermartabat.

Gus Yahya sedang berbicara tentang fiqih peradaban di Yogyakarta
Foto: PBNU
Gus Yahya sedang berbicara tentang fiqih peradaban di Yogyakarta

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa fiqih peradaban merupakan platform untuk memutus berbagai problem kekerasan yang melanda dunia.

Hal itu disampaikan dalam Seminar Nasional bertema “Menafsirkan Kembali Gagasan Fikih Peradaban dalam Perspektif Geopolitik Islam" di Gedung Prof Soenarjo, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (4/4/2023).

Baca Juga

“Maka PBNU berikhtiar untuk menyediakan satu platform bagi para ulama yang mungkin saling berbeda pendapat ini untuk menemukan kata putus tentang hal-hal paling strategis di dalam kehidupan umat manusia ini di tengah-tengah masyarakat dunia yang penuh keragaman ini,” katanya.

“Bahwa telah terjadi perubahan-perubahan berskala peradaban, sejak beberapa abad terakhir ini, sudah menjadi pengetahuan kita semua. Tetapi bagaimana konsekuensi-konsekuensinya terhadap norma-norma keagamaan selama ini, masih sangat kurang menjadi bahan pemikiran termasuk di kalangan para ulama,” lanjut kiai yang akrab disapa Gus Yahya.

Gus Yahya mencontohkan NKRI sebagai negara bangsa itu sendiri, dasar syariatnya belum ada yang membuat karya yang secara metodologis dengan disiplin syariat menjelaskannya. Belum ada pula penjelasan mengenai syariat bisa menerima konstruksi negara bangsa yang berdemokrasi seperti Indonesia.

“Karena dalam konstruksi negara bangsa ini ada banyak hal-hal baru yang tidak matching lagi, tidak bersesuaian lagi dengan wawasan lama tentang negara dan kepemimpinan politik,” katanya.

Misalnya, kata Gus Yahya, satu pertanyaan saja kalau dikatakan di dalam wacana syariat itu selalu dibutuhkan adanya seorang Hakim yang bisa memberi kata putus terhadap segala macam perselisihan sehingga ada kaidah “Hukm al-hakim yarfa'u al-khilaf”, keputusan pemerintah memutus perselisihan. “Karena itu, pemerintahan disebut hukuman karena memberi kata putus dalam perselisihan apapun di dalam masyarakat termasuk dalam perselisihan keagamaan,” ujarnya.

“Kalau dulu hakimnya adalah imam. Imam ya khalifah. Khalifah itu ya sultan. Lah kalau negaranya ini negara demokrasi, hakimnya siapa ? Apakah Presiden memenuhi syarat menjadi hakim ? Apakah harus hakim kolektif bersama dengan legislatif dan yudikatif misalnya atau bagaimana ?” lanjut Gus Yahya.

Lebih lanjut, Gus Yahya menyampaikan bahwa kelompok yang menolak negara bangsa dan menggunakan kekerasan untuk mewujudkan cita-citanya  itu juga mendasarkannya pada dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits. Karenanya, ia menegaskan bahwa perlu dasar pijakan yang bisa menjadi dalil agar kehidupan yang harmoni dapat terwujud.

“Maka mendesak sekali bagi kita semua untuk segera menemukan suatu landasan agar keseluruhan kehidupan umat manusia ini, bisa dibangun di atas prinsip-prinsip interaksi prinsip-prinsip pergaulan kemanusiaan yang lebih menjamin perdamaian,” katanya.

Oleh karena itu, Gus Yahya mengambil topik piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibahas dalam Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I di Surabaya pada Senin, 6 Februari 2023 lalu.

Tata dunia

Gus Yahya menegaskan bahwa persoalan mendasar dari segala kemelut ini adalah persoalan terkait tata dunia. Memang secara faktual, persoalan tata dunia ini relatif memberikan jaminan stabilitas dan keamanan global. Hal ini baru muncul dan belum betul-betul jadi.

“Tata dunia ini dimulai dengan lahirnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa itu yang di dalamnya ada gagasan-gagasan yang sama sekali baru misalnya gagasan tentang perbatasan internasional, kesetaraan martabat manusia,” katanya.

Di dalam Alquran dan Hadits, kata Gus Yahya, tidak ada nash yang menghormati perbatasan negara lain. Tidak ada juga nash Alquran dan hadits perihal wajib berhenti jika lampu merah. Hal itu berasal dari undang-undang. Lalu, apa yang mendasari masyarakat harus taat pada undang-undang ? Menurut Gus Yahya, hal itu karena ada dan keabsahan negara. Kemudian, kenapa kita harus menerima negara dan seterusnya ini sama.

“Apa yang membuat kita harus hidup berdampingan dengan orang-orang kafir dicari dalilnya ? Hadits Qurannya tidak ketemu hubungan antara kelompok Muslim dan non-Muslim ya hubungan permusuhan yang ada dalil-dalilnya itu,” katanya.

Hal tersebut, menurutnya, sudah menjadi posisi wawasan syariat yang mapan sejak beratus-ratus tahun. “Lalu apa dasarnya kita butuh toleransi segala sekarang ini ? Kok dulu nggak ? Kenapa dulu kita nggak toleransi saja sama NICA ? Kenapa harus resolusi jihad ?” katanya.

Menurutnya, tidak ada dasar yang lebih kuat dalam hal ini selain piagam PBB. Toleransi dan hidup berdampingan semua dilakukan atas dasar Piagam PBB. “Ini semua kita lakukan demi piagam PBB. Sebetulnya demi penghargaan kepada piagam PBB kenapa kita tidak menganeksasi Singapura saja ? karena ada piagam PBB,” ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement