REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekurangnya 10 tahun telah berlalu sejak Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mantan ketua umum (ketum) Partai Demokrat itu pun telah menjalani masa hukuman delapan tahun penjara dan dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat pada Selasa (11/4/2023).
Selama kurang lebih dua tahun, Anas sedang berada di puncak karier politik sebagai ketum partai berlambang mercy itu. Dia memenangkan Kongres II di Bandung pada 2010 melawan dua kandidat caketum lain, yaitu Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie.
Pada pemungutan suara putaran pertama, tidak ada yang mencapai suara 50 persen. Kemudian nama Andi Mallarangeng diprediksi kuat memenangkan kongres. Namun, pada putaran kedua, Anas berhasil memperoleh kemenangannya.
Anas lalu dilantik menjadi ketum Partai Demokrat menggantikan Hadi Utomo. Rumor persaingan antara ketiga kandidat di internal partai masih bergulir hingga muncul polemik permainan uang dan kasus korupsi Hambalang yang dimulai dari Muhammad Nazaruddin yang saat itu menjabat bendahara umum Partai Demokrat.
KPK terlebih dahulu mencium dugaan suap Nazaruddin dalam pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang. Nazaruddin melarikan diri ke Singapura pada 23 Mei 2011 sehari sebelum surat cekal KPK baru diterima oleh Kemenkumham.
Mantan bendahara Demokrat itu lalu ditetapkan tersangka sejak 4 Juni 2011 atas kasus dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang. Dia masih dalam pelarian ke luar negeri hingga akhirnya tertangkap di Cartagena, Kolombia, pada 7 Agustus 2011.
Nazaruddin terbukti bersalah menerima komisi 13 persen atau sejumlah Rp 25 miliar dengan yang baru diterima sejumlah Rp 4,3 miliar. Dia kemudian menjalani sidang perdana pada 16 November 2011.
Dalam sidang pembelaannya, Nazaruddin menyebutkan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam korupsi wisma atlet yang lain, yaitu Hambalang. Ini yang kemudian lebih dikenal dengan 'Nyanyian Nazaruddin'. Nazaruddin menyatakan Anas mengatur agar PT Adhi Karya menangi proyek pembangunan wisma atlet di Bogor, Jawa Barat, itu.
Menurut Nazaruddin, keterlibatan Anas sebagai pengatur proyek Wisma Hambalang didasari oleh kebutuhan Anas untuk menyelenggarakan kongres. Saat itu, kata Anas, dibutuhkan sekitar Rp 100 miliar agar dapat terpilih sebagai ketua umum Partai Demokrat.
Nazaruddin menyebut ada penyerahan uang Rp 700 juta dari PT Adhi Karya untuk Anas. Menurut Nazaruddin, Anas menerima uang dari petinggi PT Dutasari Citralaras, perusahaan subkontraktor proyek, Mahfud Suroso. Uang itu kemudian dibelikan Toyota Harrier dalam dua tahap, yaitu uang muka Rp 150 juta dan sisanya dibayarkan melalui cek.
Nyanyian Nazaruddin itu kemudian menjadi petaka bagi Anas. Lembaga antirasuah langsung mengincar mantan anggota KPU itu hingga pada akhirnya dia ditetapkan tersangka dugaan korupsi pembangunan Wisma Atlet Hambalang pada Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON).
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan Anas juga terbukti menerima suap sebesar Rp 25,3 miliar dan 36 ribu dolar AS dari Permai Grup. Sementara dari Nazaruddin, hakim menyatakan Anas terbukti menerima Rp 30 miliar dan 5,2 juta dolar AS.
Menurut hakim, gratifikasi dari Permai Group dan Nazaruddin digunakan Anas untuk keperluan kongres Partai Demokrat dan memperhalus pencalonannya sebagai ketua umum. Namun, pada tingkat peninjauan kembali, penggunaan uang untuk pencalonan ini dinyatakan tak terbukti oleh majelis hakim.
Anas awalnya dituntut 15 tahun penjara oleh jaksa, tapi pada penetapan vonisnya menjadi delapan tahun. Dia mengajukan banding yang berhasil dikurangi menjadi tujuh tahun.
Namun, perjalanan hukumannya masih belum selesai. Pada tingkat kasasi, Anas justru diperberat hukumannya menjadi 14 tahun di Mahkamah Agung. Anas kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) terkait kasusnya. Hasilnya, hukuman Anas disunat selama enam tahun sehingga dia hanya dihukum delapan tahun penjara, kembali pada vonis awal tipikor.