REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar bidang Ilmu Rekayasa Pangan IPB Prof Dede Robiatul Adawiyah mengatakan beras analog yang terbuat dari selain padi bisa dimanfaatkan untuk diversifikasi pangan Indonesia. Bahan itu bisa dijadikan sumber karbohidrat sehingga bisa menjadi alat diversifikasi pangan.
"Meskipun memakai frasa beras tiruan, bahan-bahan yang digunakan merupakan bahan alami dari sumber pati atau mengandung zat tepung dan karbohidrat. Layaknya beras dari padi, beras tiruan dinilai dapat menggantikan sumber karbohidrat dan dapat menjadi potensi bahan pangan utama masyarakat Indonesia," katanya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Beras analog dibuat dengan cara menghaluskan bahan kemudian membentuknya menjadi butiran menyerupai beras dengan karakteristik mendekati beras. "Mengingat sumber pati kita banyak, karbohidrat kita banyak, itu bisa dipakai untuk menghasilkan beras nonpadi, beras yang dihasilkan dari berbagai macam sumber pati itu," ujar Prof. Dede.
Menurutnya, beras analog bukan hanya dibuat dari shirataki. "Sirataki itu kan dibuatnya dari umbi porang, jadi (beras) analog itu bisa dibuat dari macam-macam (bahan), misalnya ubi jalar, singkong, sagu. Namanya analog, tiruan," kata ProfDede.
Untuk membuat beras analog diperlukan bahan baku dan bahan tambahan yang tepat, kata dia. Beras analog dapat dibuat dari sumber pati nonberas yang sudah berbentuk tepung dengan tambahan kacang-kacangan sebagai sumber protein.
Bahan tambahan lain yang diperlukan adalah komponen pati dari tapioka dan pengemulsi dari gliserol monostearat (GMS), lesitin kedelai, serta sodium lactylate (SSL). Selain bahan utama dan bahan tambahan, beras analog pun dapat ditambah dengan bahan fortifikasi lain untuk meningkatkan nilai gizinya. Beberapa bahan fortifikasi yang dapat digunakan adalah vitamin A, vitamin E, dan mineral.
Namun, Prof Dede mengatakan masih banyak masyarakat Indonesia yang memiliki stigma negatif terhadap beras analog. Di samping penggunaan kata analog atau tiruan sebagai penyebutan beras ini, masyarakat masih menganggap beras dari padi masih menjadi yang terbaik.
"Kadang-kadang, konsumen menolak (karena) persepsinya tiruan. Tapi dari sisi bentuk sebetulnya bisa (menjadi bahan alternatif untuk pendamping beras dari padi)," tutur Prof. Dede.