Sabtu 29 Apr 2023 10:58 WIB

Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan Siapa yang akan Menang?

Cawapres yang tepat akan menjadi kunci pemenangan Pilpres 2024.

Pemilihan cawapres yang tepat akan menjadi penentu kemenangan di Pilpres 2024. Foto ilustrasi pemaparan survei pilpres.
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Pemilihan cawapres yang tepat akan menjadi penentu kemenangan di Pilpres 2024. Foto ilustrasi pemaparan survei pilpres.

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Tidak perlu justifikasi untuk mengatakan bahwa bakal calon presiden (capres) Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Prabowo masih berpeluang kalah. Karena apapun jenis dan level sebuah kompetisi, pemenangnya pasti tunggal. Yang lain tidak menang. Begitulah hukum lomba, termasuk lomba berebut kuasa. Artinya, setiap kontestan punya peluang kalah atau menang.

Yang kita bisa utak-atik saat ini, dalam konteks Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, adalah variabel yang mempengaruhi kemenangan atau kekalahan. Faktor-faktor itu bisa digunakan untuk memprediksi peluang kemenangan atau kekalahan secara lebih presisi. Paling tidak mendekati. Ruang itulah yang kini ramai dengan prediksi hingga ragam spekluasi. Salah satunya terkait siapa yang akan dipilih menjadi cawapres.

Baca Juga

Kita berangkat dari asumsi tiga pasang capres-cawapres pada Pilpres 2024. Perkiraan ini paling kuat jika melihat dinamika yang terjadi hari-hari ini. Pertama, bakal capres Anies Baswedan yang disokong Nasdem, Demokrat, dan PKS. Kedua, calon dari PDIP Ganjar Pranowo. Gubernur Jawa Tengah ini pasti akan menjadi salah satu kontestan. Sebab PDIP memegang satu tiket pencapresan tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain.

Satu lagi yakni Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Gerindra diketahui telah bekerja sama dengan PKB dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Hingga saat ini ia memang belum mendeklarasikan diri sebagai capres. Tapi, menteri pertahanan itu mengisyaratkan tak akan mau sekadar dijadikan cawapres.

Di sisi lain, Golkar pun mengisyaratkan akan mendukung Prabowo setelah rekan koalisinya, PPP, telah memastikan menyokong Ganjar. PAN pun memberi sinyal mengikuti langkah PPP. Dengan kata lain, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) kemungkinan bakal bubar.

Ketiga bakal capres tersebut dalam berbagai survei pun bersaing ketat. Terlebih Prabowo dan Ganjar yang selisihnya tipis berebut posisi puncak. Selisih itu bahkan masih di bawah margin of error. Artinya, siapa yang unggul di antara keduanya belum mutlak. Sementara Anies Baswedan, selalu di posisi ketiga tapi tak jauh jaraknya. Sederhananya, ketiganya cukup kompetitif.

Dengan selisih tidak signifikan, semua masih berpeluang menang. Maka, variabel paling mempengaruhi kemenangan capres adalah pasangannya atau cawapresnya. Pemilihan cawapres menjadi aspek paling krusial. Sebab, figur cawapres ini diharapkan mampu mengambil ceruk suara dari kantong-kantong lain yang sulit ‘dijangkau’ capres. Artinya, secara elektabilitas juga bisa bersaing.

Berebut NU

Dari ketiga kandidat capres tersebut, tak ada satu pun yang dari Jawa Timur maupun kader Nahdlatul Ulama (NU). Ini menarik, karena dalam Pilpres 2019 pasangan Jokowi-Ma’ruf unggul telak dari pasangan Prabowo-Sandi. Suara sah di Pemilu 2019 ada 24,6 juta orang. Prabowo-Sandi mendapat separuh dari suara yang diraih Jokowi. Prabowo 8,4 juta suara, Jokowi 16,2 juta suara. Telaknya kemenangan ini ternyata tidak terjadi di 2014, di mana Jokowi-Jusuf Kalla meraup 11,6 juta suara, sedangkan Prabowo-Hatta Rajasa 10,2 juta suara. Relatif sedikit selisihnya.

Mengapa itu terjadi? Calon RI 2 atau pasangan masing-masing capres ternyata menjadi penentu. Kiai Ma’ruf adalah magnet pemilih di Jatim. Provinsi paling timur Pulau Jawa ini jelas merupakan basis nahdliyyin, warga NU. Apalagi, jika kiai-kiai sudah bersikap dan menentukan pilihan, sebagian besar umatnya sami’na wa atho’na. Itulah yang terjadi di 2019.

2014 tidak demikian. Tak ada ‘orang NU’ sebagai kontestan, baik capres maupun cawapres. Meski ketua umum PBNU saat itu KH Said Aqil Siradj mendeklarasikan dukungan untuk Prabowo-Hatta, dampaknya terhadap elektoral tidak signifikan. Beberapa kiai pun sikapnya tak segamblang seperti di Pilpres 2019.

Yang pasti, suara pemilih di Pulau Jawa tetap akan menjadi penentu kemenangan. Separuh lebih pemilih nasional ada di enam provinsi di Pulau Jawa. Dari keenam provinsi tersebut, Jatim, Jateng, dan Jabar, menjadi arena penentu pertarungan. Ada 70 juta lebih pemilih di tiga provinsi ini dari total 154 juta pemilih pada Pilpres 2019.

Di antara ketiganya, Jateng menjadi provinsi dengan jumlah pemilih paling sedikit. Pada Pilpres 2019, suara sahnya 21,7 juta orang. Jumlah tersebut lebih sedikit tiga juta suara dibandingkan Jatim, dan lima juta suara dari Jabar. Tetapi suaranya solid. Di Pilpres 2019, Prabowo-Sandiaga hanya mendapat 4.944.447 suara dan Jokowi-Ma’ruf 16.825.511 suara. Angka ini adalah bukti paling nyata bahwa memang Jateng adalah kandang banteng. Apalagi, capres 2024 dari PDIP adalah Ganjar, gubernur Jateng.

Jabar pun relatif lebih cair. Ada 26,8 juta suara sah di Pilpres 2019. Terbesar dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Dua kali pilpres itu pula Prabowo berhasil menjadikan Jabar sebagai lumbung suara. Selisih suara Prabowo dan Jokowi di kisaran lima juta, baik di Pilpres 2014 maupun 2019. Dua pilpres terakhir kita tahu tak ada tokoh Jabar jadi kontestan.

Baik Prabowo, Ganjar, maupun Anies, pasti masih mencari formula yang pas untuk mencari pasangan masing-masing. Selain faktor elektabilitas yang menjadi perhitungan, ada faktor lain yang pasti diperhitungkan. Sosok cawapres juga harus diterima parpol koalisi masing-masing. Dan tak kalah penting, adalah sokongan logistik pemenangan. Suka atau tidak, sistem pemilihan kita memang butuh biaya tinggi. Siapa yang bisa menambah ‘bahan bakar’ tentu menjadi poin plus.

Elektabilitas tinggi, bisa mengambil ceruk suara di luar basis capres, akseptabilitas, hingga modal pemenangan yang mumpuni menjadi faktor-faktor yang dihitung secara detail dan teliti dalam memilih cawapres. Belum ada satu orang yang mempunyai semua itu secara lengkap. Tetapi, semua kandidat akan berhitung probabilitas paling maksimal dari kombinasi sebagian faktor-faktor tersebut.

Jika Ganjar salah memilih cawapres, bukan tidak mungkin dia kalah. Begitu juga Prabowo dan Anies. Penentuan cawapres akan mengubah peta elektoral ketiga kandidat tersebut. Maka, Prabowo, Ganjar, dan Anies, akan berhati-hati dan penuh perhitungan. Pemilihan cawapres ini menjadi titik paling krusial ketika ketiga kandidat tak ada yang unggul mutlak.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement