REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Pembangunan Asia (ADB) meluncurkan program baru bernama Innovative Finance Facility for Climate in Asia and the Pacific (IF-CAP) untuk menekan perubahan iklim. Pembiayaan IF-CAP akan berkontribusi pada peningkatan ambisi pendanaan ADB sebesar 100 miliar dolar AS terkait perubahan iklim selama 2019–2030 dari sumber dayanya sendiri.
ADB sedang berdiskusi dengan calon mitra seperti sumber bilateral dan multilateral, sektor swasta, dan filantropi, termasuk Global Energy Alliance for People and Planet untuk mengatalisasi investasi iklim. Mitra awal IF-CAP adalah Denmark, Jepang, Republik Korea, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat.
Presiden ADB Masatsugu Asakawa mengatakan para mitra tersebut sedang berdiskusi dengan ADB tentang penyediaan berbagai hibah persiapan proyek serta jaminan sebagian dari portofolio pinjaman pemerintah ADB. “Pengurangan eksposur risiko oleh jaminan itu akan memungkinkan ADB mengentaskan modal guna mempercepat pinjaman baru untuk proyek-proyek iklim,” ujarnya dalam keterangan tulis, Selasa (2/5/2023).
Menurutnya, dengan model ‘satu dolar AS masuk, lima dolar AS keluar’, ambisi awal jaminan senilai tiga miliar dolar AS dapat menghasilkan pinjaman baru sebesar 15 miliar dolar AS proyek iklim yang sangat dibutuhkan di seluruh Asia dan Pasifik.
“Mekanisme penjaminan leverage pembiayaan iklim ini belum pernah diadopsi oleh bank pembangunan multilateral,” ucapnya.
ADB berkomitmen untuk mengekspansi investasi energi terbarukan dan tidak akan berinvestasi di batu bara. Sebelum IF-CAP, ADB telah meluncurkan energy transition mechanism (mekanisme pembiayaan transisi energi) dalam UN COP 26 di Inggris pada 2021.
Di bawah mekanisme tersebut, ADB tahun lalu telah meneken nota kesepahaman untuk memensiunkan dini salah satu pembangkit listrik tenaga batu bara, yakni PLTU Cirebon-1 berkapasitas 660 megawatt milik Cirebon Electric Power (CEP) di Jawa Barat.
Asakawa melanjutkan, sejak 2000, lebih dari 40 persen bencana terkait iklim terjadi di Asia dan Pasifik. Lebih dari 3,5 miliar orang terkena dampaknya, dengan hampir satu juta kematian. Pada 2050, sebanyak satu miliar orang lagi yang tinggal di daerah perkotaan akan menderita polusi udara dan tekanan panas yang berbahaya.
Selain itu, negara berkembang anggota Bank Pembangunan Asia telah mengalami kerugian fisik akibat bencana sebesar 67 miliar dolar AS. “Jika kita tidak bertindak, peningkatan kerugian tahunan akan melebihi pertumbuhan PDB kawasan,” ucapnya.