REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memprotes Kebijakan Plt Gubernur DKI Heru Budi Hartono yang memutus KJP bagi anak yang merokok. KPAI justru menyebut anak yang merokok masuk kategori perlindungan khusus.
KPAI menyebut Negara berkomitmen rokok harus jauh dari anak. Tetapi ketika bicara skema anggaran perlindungan khusus anak yang menjadi korban rokok dan produk serupa rokok, Negara masih kesulitan. Sehingga selain KJP dicabut, orang tua juga kesulitan dalam pemulihan anak akibat efek candu rokok.
"Sangat baik untuk memutus mata rantai rokok dan produk yang serupa pada anak. Tapi di balik masalah ini, sebenarnya kita ditantang bagaimana anak-anak yang menjadi korban rokok, juga memiliki hak mengakses anggaran perlindungan khusus anak. Yaitu rehabilitasi anak pasca kecanduan rokok agar pulih," kata Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra dalam keterangannya pada Ahad (7/5/2023).
Jasra meragukan Pemprov DKI Jakarta bisa memutus rokok dengan memberi sanksi karena akses anak untuk rokok tetap tersedia. Sehingga mereka yang distop anggaran KJP nya, tetapi tidak bisa rehabilitasi pada akhirnya efek candu itu terus menghantui.
"Yang berakibat rokok tidak bisa lepas dari genggaman anak," ujar Jasra.
Jasra menegaskan masalah ini bukan soal anak mau merokok atau tidak. Tetapi ia menuding anak merokok karena industri rokok penyebarannya tidak dibatasi, media ruangnya terus mendekati, paparan asap rokok selalu ada.
"Indikatornya adakah tempat rehab rokok yang layak buat anak? hingga kebijakan menghentikan KJP harus berlanjut," ujar Jasra.
Selain itu, Jasra mengutip Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 59 ayat 2 menyatakan pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab memberikan Perlindungan Khusus Anak yang di dalamnya ada anak perokok.
"Artinya karena disebut zat adiktif, semua industri yang membawa efek candu, serupa dengan rokok harus dijauhkan dari anak-anak," ucap Jasra.