REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyoroti isu karyawati yang dipaksa tidur bersama atasan di perusahaannya untuk mendapat perpanjangan kontrak kerja. LPSK menegaskan tindakan itu masuk kategori kejahatan pidana.
Karyawati berinisial AD (24 tahun) sudah mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK. AD mengaku sebagai salah satu korban staycation dari atasan perusahaannya demi perpanjangan kontrak.
"Kasus staycation sebagai persyaratan untuk perpanjang kontrak kerja, bisa digolongkan sebagai salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2022," kata Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution kepada Republika, Selasa (9/5/2023).
Maneger menganalisa dalam hal kejahatan tersebut dilakukan oleh orang-orang kunci atau penting dalam perusahaan. UU TPKS memungkinkan mereka dijerat pidana karena mengatur sanksi bagi korporasi yang terbukti terlibat sebagai pelaku kejahatan.
"Kasus staycation bisa dikategorikan sebagai perbuatan eksploitasi seksual dan atau perbuatan kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban dalam hal korban telah diperdayai pelaku untuk melakukan suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan," ujar Maneger.
Maneger juga mensinyalir tekanan terhadap korban-korban kekerasan seksual di kasus ini cukup berat karena seringkali terjadi reviktimisasi terhadap mereka. Apalagi bagi korban yang mau bersuara dan muncul di hadapan publik berpotensi mengalami tekanan lebih kuat. Atas dasar itulah, LPSK mengapresiasi keberanian korban untuk mengungkap peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya.
"Untuk itu LPSK siap memberikan perlindungan terhadap yang bersangkutan," ujar Maneger.
Sebelumnya, karyawati berinisial AD (24) dikabarkan mengajukan laporan ke Polres Metro Bekasi soal praktik syarat staycation perpanjang kontrak pabrik di Cikarang. Laporan itu diajukan AD pada Sabtu (6/5/2023) bersama kuasa hukumnya. Laporan disebut sudah terdaftar dengan nomor LP/IV1179/V/2023/SPKT/Polres Metro Bekasi/Polda Metro Jaya.