Rabu 20 Dec 2023 12:20 WIB

Soal Dugaan Pencabulan di Majelis Taklim Purwakarta, KemenPPPA Soroti Relasi Kuasa

Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar
Foto: Pribadi
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mendorong penegakan hukum atas kasus kekerasan seksual di salah satu majelis taklim di Purwakarta, Jawa Barat. Kasus ini diduga terjadi sejak 2017.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KPPPA, Nahar prihatin atas kasus kekerasan seksual ini. Nahar menegaskan, perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan.

"KemenPPPA mendorong penegakan hukum yang tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan agar menciptakan keadilan bagi para korban dan efek jera terhadap pelaku," kata Nahar dalam keterangannya pada Rabu (20/12/2023). 

Nahar menggarisbawahi adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara terlapor dan korban. Relasi kuasa ini menjadikan korban bungkam atas kekerasan seksual yang dialaminya. 

"Dalam hal ini, pelaku merupakan orang dewasa dan dihormati sebagai guru mengaji, menggunakan ancaman dan tekanan untuk menguasai anak korban yang dianggap lemah," ujar Nahar.

Terlapor dapat dikenai pasal berlapis. Terlapor diduga melakukan tindak pidana persetubuhan dan pencabulan terhadap anak yang melanggar pasal 76D dan 76E Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Hukuman atas tindakan tersebut terdapat ditambah 1/3 karena terlapor merupakan seorang pendidik.

Selain itu, kejadian ini menimbulkan lebih dari satu korban, berdasarkan pasal 81 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku dapat dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Terlapor juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas serta tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

"Ini bukanlah kasus kekerasan seksual pertama yang terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan dan dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjadi pelindung anak," ujar Nahar. 

Diketahui, para korban sudah diberikan pendampingan sesuai dengan kebutuhannya, termasuk pendampingan pada saat visum. Kekerasan seksual ini bermula dari istri terlapor meminta anak-anak yang mengaji di rumah terlapor untuk memijat terlapor dengan alasan kelelahan sehabis pulang dari sawah. Sesampainya di rumah, para korban merasakan perih di bagian kemaluannya.

"Salah satu pendampingan yang penting diberikan kepada para korban adalah pendampingan psikologis untuk melihat tanda-tanda munculnya permasalahan psikologi serta memberikan penanganan yang tepat bagi para anak korban," ujar Nahar. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement