Kamis 18 May 2023 17:55 WIB

Survei Setara: 83,3 Persen Siswa SMA Anggap Pancasila Bisa Diganti

Survei dilakukan terhadap pelajar di Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus raharjo
Mural lambang Garuda Pancasila.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Mural lambang Garuda Pancasila.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Setara Institute bersama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) merilis hasil survei kondisi toleransi siswa sekolah menengah atas (SMA). Salah satu hasil dari survei tersebut menunjukkan sebanyak 83,3 persen siswa SMA responden mendukung persepsi Pancasila bukan ideologi yang permanen atau bisa diganti.

“Dukungan terhadap persepsi bahwa Pancasila sebagai bukan ideologi yang permanen, artinya bisa diganti, juga sangat besar yakni 83,3 persen responden,” ujar Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasani, dalam keterangannya, Kamis (18/5/2023).

Baca Juga

Dia menjelaskan, survei tersebut dilakukan untuk memeroleh gambaran terkini situasi dan kondisi toleransi siswa. Selain temuan di atas, ada pula temuan terkait syariat Islam sebagai landasan bernegara yang didukung oleh 56,3 persen responden.

Kemudian, sebanyak 74,4 persen responden menyatakan tidak setuju jika agama lain selain agama yang diyakini dianggap sesat. Tetapi kebersetujuan membela agama, termasuk harus mati, justru sangat tinggi di angka 33 persen.

“Terkait sikap responden terhadap penggunaan jilbab di sekolah, sebanyak 61,1 persen menyatakan setuju bahwa mereka merasa lebih nyaman jika semua siswi di sekolah menggunakan jilbab. Sedangkan 38,9 persen lainnya menyatakan tidak setuju,” tegas Halili.

Dia menjelaskan, pada 12 pertanyaan kunci yang digunakan sebagai indikator toleransi siswa, penelitian itu menemukan kecenderungan yang positif pada hampir semua pertanyaan.

Tingginya penerimaan perbedaan keyakinan sebesar 99,3 persen, penerimaan perbedaan ras dan etnis sebesar 99,6 persen, empati terhadap kelompok yang berbeda agama atau keyakinan 98,5 persen.

Lalu, kata dia, dukungan pada kesetaraan gender sebesar 93,8 persen dalam kepemimpinan OSIS adalah tren yang sangat positif di kalangan pelajar. Dengan kata lain, menurut Halili, peragaan intoleransi di sejumlah sekolah sesungguhnya tidak memperoleh dukungan signifikan dari para siswa di area penelitian ini.

“Namun, jika diuji dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih ideologis, kecenderungan toleransi semakin menurun,” kata dia.

Dimana, dalam menjawab pertanyaan apakah akan menahan diri melakukan kekerasan dalam merespons penghinaan terhadap agama yang dianut, 20,2 persen responden menyatakan tidak bisa menahan diri. Sekalipun angka yang bisa menahan diri masih cukup besar di 79,8 persen.

“Demikian juga terkait persepsi tentang Barat. Sebanyak 51,8 persen responden menyatakan setuju bahwa negara Barat seperti Amerika, Inggris, dan Australia dianggap sebagai ancaman terhadap agama dan budaya Indonesia,” tegas dia.

Metode pengumpulan data dilakukan oleh surveyor secara face to face interview di Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang. Metode purposive sampling digunakan untuk menentukan sekolah-sekolah yang dituju.

Selanjutnya surveyor mengambil sampling dengan metode simple random sampling untuk menetapkan siswa SMA sebagai responden. Jumlah sampel yang sebanyak sebanyak 947 dengan margin of error 3,3 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Penelitian diselenggarakan pada Januari-Maret 2023.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement