Jumat 19 May 2023 21:43 WIB

RUU Kesehatan Dinilai Kandung Pasal Manipulatif

Komunitas Kretek sebut UU tentang tembakau tidak ada urgensi dibuat Omnibus Law

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petani memanen tembakau di Desa Karangpakis, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Komunitas Kretek menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang saat ini disusun secara omnibus law tidak transparan, manipulatif, penuh kepentingan, tidak mendesak, dan berpotensi bahaya. Juru Bicara Komunitas Kretek, Siti Fatona, mengatakan, pasal 154 dalam RUU tersebut adalah salah satu contohnya, yang menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif.
Foto: ANTARA/Syaiful Arif
Petani memanen tembakau di Desa Karangpakis, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Komunitas Kretek menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang saat ini disusun secara omnibus law tidak transparan, manipulatif, penuh kepentingan, tidak mendesak, dan berpotensi bahaya. Juru Bicara Komunitas Kretek, Siti Fatona, mengatakan, pasal 154 dalam RUU tersebut adalah salah satu contohnya, yang menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komunitas Kretek menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang saat ini disusun secara omnibus law tidak transparan, manipulatif, penuh kepentingan, tidak mendesak, dan berpotensi bahaya. Juru Bicara Komunitas Kretek, Siti Fatona, mengatakan, pasal 154 dalam RUU tersebut adalah salah satu contohnya, yang menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif.

"UU lama masih relevan dan tidak ada urgensi dibuatnya aturan Omnibus Law. Aturan soal tembakau di UU yang lama serta beragam aturan lainnya, sudah sangat komprehensif dan tidak perlu ditambah-tambahkan secara sewenang-wenang,” kata Siti, dalam keterangannya, Jumat (19/5/2023).

Siti juga menilai penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam aturan tersebut juga mengada-ada dengan tujuan utama untuk mengendalikan tembakau belaka. Pasal 154 yang terdapat dalam RUU Omnibus Kesehatan merupakan perubahan dari Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang membahas terkait Pengamanan Zat Adiktif.

Dalam pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, yang dimaksud sebagai zat adiktif adalah tembakau dan produk yang mengandung tembakau. Sementara, narkotika dan psikotropika diatur dalam UU berbeda yang tidak termasuk dalam UU Kesehatan yang masih berlaku.

Namun, dalam RUU Omnibus Kesehatan yang tengah menjadi pembahasan, barang yang diklasifikasikan sebagai zat adiktif bertambah menjadi tembakau, minuman beralkohol, narkotika, psikotropika dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya. Hal itulah yang membuat dia menilai pasal zat adiktif dalam RUU Omnibus Kesehatan melampaui batas.

Penyetaraan yang terjadi dalam RUU ini dikhawatirkan akan membuka celah delegitimasi tembakau sebagai produk legal. Di mana hal itu dapat berujung pada kriminalisasi petani dan seluruh pihak yang terlibat dalam rantai pasok tembakau serta produk turunannya.

Selain pasal 154, Siti juga menyoroti sejumlah pasal lain yang berpotensi berbahaya dalam RUU Kesehatan. Pasal tersebut, antara lain Pasal 156 yang mengatur terkait standardisasi kemasan bagi produk tembakau, khususnya akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kesehatan.

“Dalam draf dan daftar inventarisasi masalah yang tersebar, terlihat Kementerian Kesehatan ingin jadi penguasa tunggal isu tembakau di Indonesia karena itu mereka memasukkan ayat yang inkonstitusional, yakni membuat perihal teknis ke dalam undang-undang,” ujarnya.

Siti pun mewanti-wanti bahwa pelolosan RUU ini akan memberikan citra diktator otoriter dan kesewenang-wenangan pada pemerintah dalam hal pengaturan kebijakan kesehatan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement