Selasa 30 May 2023 03:15 WIB

8,3 Juta Warga Cina Hadapi Tuntutan Pengadilan dalam 5 Tahun Terakhir

Sistem di Cina mendorong terdakwa mengaku bersalah dengan imbalan hukuman yang ringan

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Palu Hakim di persidangan (ilustrasi). Sebanyak 8,3 juta warga Cina menghadapi dakwaan oleh pengadilan di negara tersebut dalam lima tahun terakhir hingga 2022. Jumlah itu meningkat 12 persen dibandingkan periode yang sama sebelumnya.
Palu Hakim di persidangan (ilustrasi). Sebanyak 8,3 juta warga Cina menghadapi dakwaan oleh pengadilan di negara tersebut dalam lima tahun terakhir hingga 2022. Jumlah itu meningkat 12 persen dibandingkan periode yang sama sebelumnya.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Sebanyak 8,3 juta warga Cina menghadapi dakwaan oleh pengadilan di negara tersebut dalam lima tahun terakhir hingga 2022. Jumlah itu meningkat 12 persen dibandingkan periode yang sama sebelumnya.

Pada Maret lalu, Kejaksaan Agung Rakyat (SPP) memberikan gambaran sekilas tentang bagaimana sistem peradilan Cina, yang terkenal buram, beroperasi dalam beberapa tahun terakhir.

Baca Juga

Mantan direktur SPP Zhang Jun mengungkapkan, dalam laporan SPP tuntutan untuk kejahatan kekerasan menurun sebesar 31,7 persen. Sementara tuntutan kejahatan berbasis internet seperti perjudian, penipuan, dan penyebaran materi vulgar meningkat sebesar 43,3 persen.

Laporan SPP sebelumnya mencatat bahwa ada 1.400 tuntutan keamanan nasional antara tahun 2018 dan 2022. Namun hal ini tidak disebutkan dalam laporan kerja resmi.

Dosen senior kriminologi dari University of Queensland, Dr Enshen Li mengatakan, lonjakan dalam penuntutan dapat mencerminkan tren kriminalisasi berlebih oleh pemerintah. Tren tersebut juga muncul di negara-negara lain di dunia

Sistem yang berlaku di Cina sejak 2016 mendorong terdakwa untuk mengaku bersalah dengan imbalan hukuman lebih ringan. “Ini telah diterapkan pada sekitar 90 persen kasus pidana yang ditangani selama beberapa tahun terakhir dan telah sangat meningkatkan efisiensi pemrosesan kasus dalam sistem peradilan pidana, yang membuat penuntutan pidana jauh lebih mudah dari sebelumnya,” kata Enshen Li, dikutip the Guardian, Senin (29/5/2023).

Dalam sistem di mana tingkat hukuman dalam persidangan pidana hampir 100 persen, sistem keringanan hukuman telah menjadi insentif yang kuat bagi terdakwa untuk mengaku bersalah. Sistem tersebut berkontribusi pada penurunan jumlah penahanan pra-sidang. Antara 2018 dan 2022, tingkat penahanan pra-sidang turun dari 54,9 persen menjadi 26,7 persen atau rekor terendah. “Sistem Cina selalu tentang resolusi dan juga tentang hukuman dan pencegahan,” kata Jeremy Daum, seorang peneliti di Paul Tsai China Center di Yale Law School.

SPP mengungkapkan peran mereka termasuk memastikan penyelidikan serta penuntutan dilakukan secara sah dan adil. Mereka mengklaim telah menolak 818 ribu penangkapan yang diajukan oleh badan keamanan publik. Jumlah tersebut meningkat 30 persen.

Tetapi data juga menunjukkan lonjakan signifikan dalam jumlah banding yang diajukan terhadap putusan pidana, Menurut Enshen Li, data hanya merujuk pada banding oleh jaksa terhadap hukuman atau vonis. SPP melaporkan 41 ribu pengajuan protes terhadap putusan pidana yang diyakini salah. Jumlah itu meningkat 18,9 persen dari periode pelaporan sebelumnya.

Li mencatat bahwa jumlah itu mengacu pada banding yang diajukan oleh jaksa, bukan terdakwa. Sementara Jeremy Daum mencatat bahwa ada dorongan dalam beberapa tahun terakhir bagi jaksa dan hakim untuk menghentikan "kasus yang salah".

Selain warga sipil, SPP mengungkapkan sebanyak 78 ribu pejabat, termasuk lebih dari 100 orang yang berada di atau di atas pemimpin provinsi atau tingkat menteri, diadili karena korupsi serta penyuapan dalam periode lima tahun terakhir hingga 2022. Sejak berkuasa, Presiden Cina Xi Jinping telah melakukan pemberantasan korupsi besar-besaran terhadap elite politik di negaranya.

Di bawah pemerintahan Xi Jinping, otoritas Cina telah meningkatkan fokus mereka pada dugaan kejahatan keamanan nasional dan publik, termasuk penargetan para pembangkang, pengunjuk rasa, serta pengacara hak asasi manusia.

Bulan ini amandemen baru terhadap undang-undang (UU) anti-spionase mulai berlaku. Cakupan UU diperluas sehingga para ahli hukum memperingatkan bahwa UU tersebut dapat semakin meningkatkan risiko bagi individu dan organisasi asing yang beroperasi di Negeri Tirai Bambu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement