REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Praktik prostitusi di kawasan Saritem, Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Kota Bandung diam-diam masih ada. Padahal, aktivitas prostitusi di kawasan tersebut diklaim sudah berhenti.
Belum lama ini, tepatnya hari Rabu (18/5/2023) Polrestabes Bandung berhasil mengamankan dua orang muncikari dan 29 orang pekerja seks komersil (PSK). Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat meminta, agar keberadaan pesantren Darrut Taubah dimaksimalkan merangkul masyarakat sekitar.
Sekretaris MUI Jabar KH Rafani Akhyar mendukung langkah kepolisian yang menindak tegas praktik prostitusi di wilayah Saritem. Ia pun meminta, agar keberadaan pesantren ditingkatkan dan dimaksimalkan merangkul masyarakat sekitar.
"Jadi kalau polisi melakukan penggerebakan MUI mendukung karena itu sudah resmi ditutup sudah lama kemudian praktik prostitusi sebagai sebuah pelanggaran hukum," ucap dia saat dihubungi, Senin (29/5/2023).
Saat pertama kali Saritem ditutup dan dibangun pesantren Darrut Taubah, Rafani mengaku sudah memberikan saran kepada Wali Kota Bandung saat itu Dada Rosada tentang konsep pengelolaan pesantren di Saritem.
"Kami menyarankan kepada pak Dada wali kota, pertama pesantren yang didirikan dikelola bersama, jangan dikelola oleh satu kelompok utamanya melibatkan masyarakat setempat di situ dari mulai tokoh, pemerintah setempat," ungkap dia.
Ia mengataan, pengelolaan pesantren secara bersama mencerminkan kehendak bersama untuk menindak praktik prostitusi. Sekaligus menegaskan, bahwa penutupan lokalisasi Saritem bukan hanya karena kepentingan politik tertentu dan pencitraan.
"Jadi penutupan bukan hanya politis kepentingan tertentu agar mendapatkan nilai kalau sekarang pencitraan," ucap dia.
Rafani menyarankan pengelolaan pesantren harus jelas. Namun, saat itu konsep yang ada belum jelas hanya sekadar menutup Saritem dan mendirikan Darrut Taubah.
"Saya melihat waktu itu konsepnya belum jelas hanya sekadar menutup dan mendirikan Taubah," kata dia.
Saat pertama kali didirikan pesantren At-Taubah, ia mengungkapkan, semua pihak terkait prostitusi seperti muncikari masih ada. Bahkan masyarakat melaporkan bahwa praktik prostitusi masih ada di Saritem.
Tidak hanya itu, kegiatan di pesantren banyak masyarakat tidak tahu. Oleh karena itu, ia meminta, agar pengelolaan pesantren tidak hanya dikelola oleh kelompok tertentu. Namun, harus melibatkan semua unsur dengan harapan praktik prostitusi hilang.
"Saya tidak tahu apakah saran itu dimasukkan atau tidak. Apalagi kondisi Kota Bandung wali kota sedang ditangkap KPK, walau ada PLH ya mungkin dalam situasi yang pengawasan berkurang," kata dia.
Ia menduga, praktik prostitusi tersebut bisa tumbuh kembali. Dengan penindakan yang dilaksanakan oleh polisi, maka pemerintah daerah harus melakukan evaluasi dan meningkatkan pengawasan.
"Kalau pesantren ada yang jelas jangan samakan dengan pesantren di kampung. Kehadiran pesantren menciptakan lingkungan lebih religius dan memberikan pemahaman masyarakat sekitar di kompleks prostitusi dari muncikari kemudian wanita itu mestinya menjadi prioritas mengembalikan suasana menjadi lingkungan yang normal," ujar dia.
Rafani meminta, agar keberadaan pesantren tidak disamakan dengan di tempat lain. "Keberadaan pesantren harus dimaksimalkan dan ditingkatkan sesuai fungsi utama mendirikan pesantren di situ. Jangan disamakan mendirikan pesantren di tempat lain; ada misi khusus makanya pengelola harus dari berbagai unsur," ujar dia.