REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- PBB mengatakan tidak adanya perempuan di jajaran tinggi pemerintah Cina mengkhawatirkan. Dalam laporannya PBB merekomendasikan Cina mengadopsi sistem kuota wajib dan paritas gender untuk mempercepat keterwakilan perempuan di pemerintah.
Rekomendasi Komite Eliminasi Diskriminasi pada Perempuan PBB untuk Cina ini dirilis bersamaan dengan temuan di Jerman, Islandia, Sao Tome dan Principe, Slovakia, Timor-Leste dan Venezuela.
Komite mengatakan meski perwakilan perempuan di politik dan sektor publik Cina meningkat. Tapi perempuan hanya mewakili 26,54 persen deputi di Kongres Rakyat Nasional ke-14. Komite mendesak Cina meningkatkan jumlah perempuan di seluruh biro pemerintah termasuk di yudisial dan hubungan internasional terutama di tingkat pengambil keputusan.
"Sejak Oktober 2022, untuk pertama kalinya dalam 20 tahun tidak ada perempuan di antara 24 anggota politbiro Partai Komunis Cina, dan tidak ada perempuan di antara tujuh anggota tetap komite politbiro," kata komite dalam rekomendasinya, Selasa (30/5/2023) .
Komite mengatakan prihatin dengan pembatasan berlebihan pada pendaftaran organisasi non-pemerintah serta laporan intimidasi dan pelecehan terhadap aktivitis pembela hak asasi manusia perempuan.
Kementerian Luar Negeri Cina belum menanggapi permintaan komentar mengenai laporan tersebut. PBB juga meminta Cina mencabut "pembatasan tak proporsional" pada pendaftaran Lembaga Swadaya Masyarakat. Serta memastikan pembela hak asasi manusia perempuan tidak mengalami intimidasi, pelecehan dan pembalasan karena pekerjaan mereka.
Aktivis dan akademis mengatakan sejak Presiden Cina Xi Jinping berkuasa sebagai sekretaris jenderal satu dekade yang lalu jumlah perempuan di politik dan elit pemerintah semakin menurun sementara kesenjangan gender di angkatan kerja kian melebar.
Beberapa tahun terakhir suara feminis juga kian dibungkam. Pemerintah semakin menekankan peran-peran tradisional perempuan sebagai ibu dan perawat.