REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan wakil menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (wamenkumham) Denny Indrayana mengkritisi Mahkamah Konstitusi (MK) menjelang agenda putusan terkait gugatan UU pemilu dan menanggapi pernyataannya. Dia menyinggung tentang keputusan MK terakhir yang sarat dengan aroma kuat strategi Pilpres 2024.
"Saya terpaksa mengkritisi, bahwa putusan MK yang terakhir, terkait perpanjangan satu tahun masa jabatan pimpinan KPK, sarat dengan aroma kuat strategi Pilpres 2024 yaitu ketika KPK masih diperlukan dalam manajemen pilah-pilih perkara, mana kasus yang dipetieskan karena berkait dengan kawan koalisi, serta mana kasus yang diangkat karena menyangkut dengan lawan oposisi," kata Denny Indrayana dalam keterangan persnya pada Rabu (14//2023).
Kendati demikian, Denny berharap keputusan MK dapat menguatkan sistem pemilihan umum (pemilu) di Tanah Air dan jangan sampai menjadi bagian dari strategi pemenangan Pemilu untuk kelompok kekuatan politik semata.
Dia yakin bahwa seluruh rakyat Indonesia mendorong MK yang tetap independen, termasuk dalam memutus perkara yang sarat kepentingan politik termasuk soal pemilu, antikorupsi dan sejenisnya, atau disebut political question cases.
"Saya menghormati MK, dan karenanya menyampaikan sikap dan pandangan kritis, termasuk melakukan pengawalan lewat kampanye publik (public campaign) dan kampanye media (media campaign)," ujarnya.
"Rasa hormat tidak selalu harus diwujudkan dengan puja-puji yang menghanyutkan, tapi bisa pula dengan teguran sayang yang mengingatkan. Meskipun, saya sangat mengerti pengawalan kritis demikian rawan disalahpahami sebagai bentuk intervensi, dan karenanya mudah dijerat dengan delik pidana, atau kriminalisasi," lanjut dia.
Denny menyinggung soal pertimbangan 3.19 Putusan MK Nomor 1—2/PUU-XII/2014, dalam pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang penetapan perppu MK, pasca ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar karena kasus tindak pidana korupsi.
Dia mencatat dalam pertimbangan tersebut, MK mengklasifikasikan setiap tekanan kepada hakim, termasuk tekanan publik sebagai gangguan terhadap prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman, dan dapat dikategorikan sebagai contempt of court.
Namun, dia berpandangan bahwa pertimbangan tersebut hanya tepat jika sistem penegakan hukum Indonesia sudah ideal dan jauh dari praktik koruptif peradilan, ketika semua penegak hukum menjunjung etika profesionalitas dan integritas melawan praktik mafia peradilan.
Meski, saat ini masih ada oknum di Mahkamah Agung yang terjerat kasus mafia hukum dan tengah berkasus di KPK ataupun MK pernah punya noda hitam kasus korupsi yang menjerat Ketua dan Hakim konstitusinya, maka salah satu jaring pengaman yang justru harus dilakukan adalah mendorong kuatnya kepentingan dan kontrol publik (public control).
"Kontrol melalui penyampaian pendapat semestinya dilihat sebagai bentuk partisipasi publik yang bermakna (meaningful public participation), untuk menjaga agar MK tidak masuk ke dalam pusaran politik praktis, termasuk ke dalam jebakan strategi pemenangan Pileg dan Pilpres 2024," ujar Denny.
Dia menegaskan bahwa rakyat biasa hanya punya suara untuk bicara dan pendapat untuk disampaikan. Terkadang memang secara lantang, demi untuk menjaga agar keadilan tidak dijadikan komoditas transaksi politik ataupun diperjualbelikan.
"Rakyat biasa berbeda dengan kekuatan politik dan oligarki-bisnis, yang bisa menggunakan tangan besi kekuasaan dan tumpukan dana untuk menggoda oknum hakim di peradilan," katanya.