Kamis 22 Jun 2023 09:19 WIB

Daftar Larangan Terbang AS Bocor, Mayoritas Nama Muslim

FBI lama menjaga daftar itu sebagai rahasia.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nidia Zuraya
Penumpang memeriksa jadwal penerbangan di Bandara Laguardia, New York (ilustrasi). Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) menemukan muslim mayoritas dalam daftar larangan terbang atau no-fly yang bocor/
Foto: AP Photo/Bebeto Matthews
Penumpang memeriksa jadwal penerbangan di Bandara Laguardia, New York (ilustrasi). Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) menemukan muslim mayoritas dalam daftar larangan terbang atau no-fly yang bocor/

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) menemukan Muslim mayoritas dalam daftar larangan terbang atau no-fly yang bocor tahun 2019. Beberapa nama yang masuk dalam daftar itu merupakan orang terkenal termasuk Wali Kota Prospect Park Mohamed Khairullah. Sementara daftar lain yang disebut daftar 'terpilih' yang dirancang untuk memberi memberi pengawasan lebih saat terbang.

Dua daftar itu bagian dari katalog data Pusat Penyaringan Teroris (TSC) yang dikelola Biro Investigasi Federal (FBI) untuk mengidentifikasi ancaman seusai serangan 11 September 2001. FBI lama menjaga daftar itu sebagai rahasia.

Baca Juga

Namun, CAIR mendapatkan data bocor dan laporan mengonfirmasi dugaan masyarakat Muslim Amerika Serikat (AS). Mereka direpresentasikan dengan cara yang tidak tepat. Menurut analisis CAIR pekan lalu, sekitar 98 persen nama yang daftar itu adalah musim.

"Ini menunjukkan masyarakat Muslim dan Arab yang berkontribusi positif dan anggota masyarakat lokal kami selalu dilihat sebagai berpotensi musuh. Ini mengungkapkan dalamnya rasialisme dalam sistem, ini sangat mengecewakan," kata Khairullah pada Aljazirah, Rabu (21/6/2023).

Khairullah yang berasal dari Suriah dan telah menjabat sebagai wali kota Prospect Park sejak 2003. Ia mengungkapkan pengalamannya yang berkaitan dengan daftar itu.

Pada Mei lalu bersama ratusan Muslim lainnya diundang untuk merayakan Idul Fitri di Gedung Putih. Tapi, kemudian Dinas Rahasia meneleponnya ia tidak memiliki izin untuk menghadiri kegiatan tersebut.

"Bagian gilanya, saya sudah menjadi (wali kota) selama 17 tahun lebih, saya melayani masyarakat, saya sering berhubungan dengan pejabat tinggi terpilih," katanya.

Khairullah akhirnya pulang. Namun, pejabat terpilih lainnya mengungkapkan kemarahan atas insiden tersebut. Senator New Jersey Bob Menendez dan Cory Booker menulis surat ke direktur Dinas Rahasia.

Enam pekan kemudian, Khairullah mengatakan, ia tidak menerima "respons apa pun" mengenai mengapa ia dilarang masuk Gedung Putih. Dalam pernyataan singkat Dinas Rahasia mengaku menolaknya masuk. Kepala Komunikasi Dinas Rahasia Anthony Guglielmi juga menolak menjelaskan mengapa Khairullah ditolak.

"Sementara, kami menyesali ketidaknyamanan yang mungkin dialami wali kota, kami tidak memberikan komentar pada tindak keamanan atas protokol akses ke Gedung Putih untuk menjaga integritas tertinggi operasi perlindungan kami," kata Guglielmi dalam pernyataanya.

Khairullah mengatakan, pada 2019 ia pernah ditahan selama berjam-jam di Bandara Internasional John F Kennedy di New York. Ia diinterogasi dan diminta menyerahkan ponselnya.

Kelompok hak sipil sudah lama mengecam daftar "teroris" dan pengawasan perjalanan pemerintah. Sebab menjerat orang tak bersalah dan menghalangi orang melakukan perjalanan dan menjalani hidup sehari-hari.

FBI membagikan data itu ke berbagai lembaga dan penegak hukum di seluruh AS. Aktivis mengatakan, data yang dibagikan ke negara asing dan maskapai juga membuat orang tak bersalah ditahan dan diinterogasi pemerintah negara asing.

Selama bertahun-tahun orang yang masuk dalam daftar itu mengajukan gugatan hukum. Pada 2020 tiga pria Muslim mengajukan gugatan sampai Mahkamah Agung AS. Mereka menuduh dimasukan ke dalam daftar 'no-fly' membuat mereka tidak bisa mengawasi komunitas mereka sendiri.

Pengadilan akhirnya memutuskan orang-orang itu dapat meminta ganti rugi karena dimasukkan dalam daftar itu. Selain dihapus dari daftar tersebut. Pada 2015 lalu Pemerintah AS juga membentuk sistem "ganti rugi" untuk menangani keluhan konstitusional yang berkaitan dengan daftar itu.

Dengan sistem ini, Departemen Keamanan Dalam Negeri AS harus menjawab pertanyaan dan mengonfirmasi mengapa orang yang mengajukan keluhan dimasukkan dalam daftar itu. Orang itu kemudian dapat mengajukan gugatan. Bila jawabannya tidak mencakup kepentingan keamanan nasional.

Lembaga non-pemerintah American Civil Liberties Union (ACLU)  mengeklaim proses berjalan terlalu singkat. Penggugat kemudian mengatakan upaya menghapus nama mereka dari daftar itu sia-sia.

Pengacara CAIR, Gadeir Abbas, mengatakan, organisasinya mewakili 50 orang yang mengajukan gugatan mengenai daftar pengawasan perjalanan dan memberikan layanan hukum pada ratusan lainnya.

"Selama bertahun-tahun, melalui pengalaman langsung kami tahu FBI menggunakan daftar itu terhadap Muslim dan daftar itu mungkin daftar nama Muslim," kata Abbas.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement