REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK – Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini menyebut pejabat Pemkot Depok dan PDAM Tirta Asasta yang sekarang memaksakan pembangunan water tank di pemukiman warga, harus dihukum jika nantinya ada korban yang timbul dari proyek ini. Ia yang juga merupakan salah seorang warga terdampak proyek ini menolak water tank jutaan liter tersebut.
"Kalau di kemudian hari proyek ini dipaksakan dan ada kecelakaan dan menimbulkan korban manusia, maka pejabat yang sekarang dari PDAM dan pemda ikut bertanggungjawab atas nyawa manusia dan harus dihukum. Karena dia dengan sengaja membiarkan kegiatan pembangunan infrastruktur yang tidak layak dan menimbulkan korban manusia," kata Didik J Rachbini, Kamis (22/6/2023).
Menurutnya, water tank jutaan liter yang ada di Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok itu bermasalah dan secara kasat mata dapat diketahui berbahaya bagi warga sekitar. Proyek tanpa buffer zone itu disebutnya telah membuat khawatir warga yang jarak rumahnya dekat dengan water tank.
"Kerugian psikologi orang yang di sebelahnya itu tidur tidak tenang. Kalau malam-malam tumpah dan itu satu spekulasi yang mempertaruhkan nyawa jadi nggak boleh main main," katanya.
Dia menjelaskan, masyarakat sekitar tidak tahu detail soal proyek raksasa tersebut. Sehingga warga kaget tiba-tiba ada water tank besar yang bahkan direncanakan akan dibuat dua.
Didik meyakinkan, proyek ini membahayakan keselamatan masyarakat. Banyak nyawa akan melayang jika sewaktu-waktu insiden kebocoran terjadi pada proyek ini. "Ini urusan nyawa manusia, ada anak-anak kecil, cucu anak-anak SD, SMP. Ada orang tua di masjid itu berbahaya," ujarnya.
Masyarakat di RT 03 RW 12 Perumnas Depok II Janger dan RT 04 RW 26 Pesona Depok II, Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok telah lama menolak proyek water tank jutaan liter ini. Masyarakat khawatir, tangki itu akan membahayakan keselamatan mereka.
Salah seorang warga terdampak, Yani Suratman mengaku telah berupaya bertabatun kepada PDAM dan Pemkot Depok terkait proyek ini selama 1,9 tahun. Namun warga merasa keluhannya diabaikan sehingga akhirnya masyarakat menggunggah Pemkot ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.