REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas Perempuan mendorong dibentuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai anti penyiksaan yang sekaligus meratifikasi protokol opsional konvensi dunia melawan penyiksaan (OPCAT). Wacana tersebut awalnya diungkapkan oleh Ditjen HAM Kemenkumham.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyampaikan Indonesia memang belum mempunyai UU terkait anti penyiksaan. Andy memandang UU semacam itu dapat mengatur kerentanan khusus yang dihadapi oleh kelompok perempuan terhadap bentuk-bentuk penyiksaan.
"Kedua, perlu perhatikan perkembangan pemikiran yang sudah ada di dalam pembahasan internasional tentang cakupan dari konvensi OPCAT," kata Andy dalam diskusi memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional di Jakarta yang dikutip pada Jumat (30/6/2023).
Selanjutnya, Andy mendorong mekanisme anti penyiksaan agar diatur secara spesifik sesuai konvensi OPCAT. Andy mencontohkan lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama Untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yaitu Komnas HAM, LPSK, Komnas Perempuan berhak memantau penyiksaan di tempat penahanan.
"Ada mekanisme yang dikembangkan oleh lembaga HAM misalnya untuk sidak pada tempat-tempat tahanan atau dalam situasi yang mungkin serupa dengan tahanan," ujar Andy.
Terlepas dari kapan RUU Anti Penyiksaan bakal terealisasi, Andy berharap program anti penyiksaan wajib tetap bergulir. "Komnas Perempuan mendukung kalau RUU ini ada. Tapi kalau tidak ada (RUU-nya) sebetulnya perlu memastikan program menentang penyiksaan segera bekerja," ucap Andy.
Andy juga mencontohkan adanya kasus penyiksaan oleh oknum polisi tidak serta merta langsung diperiksa. Ia mensinyalir ada yang luput di balik kasus penyiksaan.
"Contoh kasus WNA pelaku pedofil meninggal dalam tahanan tapi kok tidak diselidiki penyiksaan yang mungkin buat dia meninggal. Ada info juga tahanan kasus perkosaan meninggal. Kita perlu memastikan tersangka hadapi proses hukum," ucap Andy.
Selain itu, Andy memandang tak perlu dibentuk lembaga baru kalau RUU Anti Penyiksaan resmi disahkan. Ia meyakini lembaga negara yang tergabung dalam KuPP dapat menjalankan mandat tersebut.
"Cukup KuPP saja karena bisa rumit. Lembaga di dalam KuPP punya mandat dalam pemantauan dan memastikan hak bebas penyiksaan diterapkan," ucap Andy.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (Ditjen HAM) mewacanakan RUU Tindak Pidana Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Hal ini demi mendorong pemajuan HAM di Tanah Air.
"Ya kita baru punya wacana, berkeinginan untuk suatu RUU terkait anti penyiksaan tadi," kata Dirjen HAM Kemenkumham Dhahana Putra dalam Diseminasi HAM: Tindak Lanjut Implementasi Konvensi Anti Penyiksaan di Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta pada Rabu (7/6/2023).
Dhahana menyampaikan usulan mengenai RUU itu guna menciptakan peraturan mengenai anti penyiksaan yang lebih menyeluruh. Dhahana mencontohkan RUU itu nantinya akan serupa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang tak hanya menyorot sanksi pidana bagi pelaku, tapi mencakup pemulihan korban.
"Itu mirip seperti halnya di (UU) TPKS, ada suatu proses dari segi SDM-nya, ada edukasinya, bahkan juga ada pemulihannya. Itu rencana ke depan seperti itu yang kami harapkan," ujar Dhahana.
Dhahana menyebut RUU itu masih dalam pembahasan di internal Ditjen HAM Kemenkumham. Dhahana belum menargetkan batas waktu penyelesaiannya karena masih di tahap kajian akademis.
"Jadi baru kajian. Nanti kalau toh memang ada suatu kesepakatan, kita akan siapkan naskah akademik," ucap Dhahan.