Selasa 04 Jul 2023 23:27 WIB

Dunia Capai Rekor Suhu Ekstrem Tertinggi di 2023, Dampak Nyata Perubahan Iklim

Suhu udara permukaan global rata-rata lebih dari 1,5 derajat Celsius.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Ani Nursalikah
 Pejalan kaki menggunakan payung untuk melindungi sinar matahari saat cuaca panas di Bangkok, Thailand, Jumat (28/4/2023). Thailand mengalami gelombang panas ekstrem dan badai petir, mendorong pihak berwenang untuk memperingatkan orang agar tetap di dalam rumah, menurut Departemen Meteorologi.
Foto: EPA-EFE/RUNGROJ YONGRIT
Pejalan kaki menggunakan payung untuk melindungi sinar matahari saat cuaca panas di Bangkok, Thailand, Jumat (28/4/2023). Thailand mengalami gelombang panas ekstrem dan badai petir, mendorong pihak berwenang untuk memperingatkan orang agar tetap di dalam rumah, menurut Departemen Meteorologi.

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Para ahli iklim dan cuaca dunia mengatakan, target untuk menjaga kenaikan suhu pemanasan global jangka panjang di bawah 1,5 derajat Celsius (2,7 Fahrenheit) semakin jauh dari capaian.

Negara-negara besar dunia dinilai gagal untuk menetapkan target yang lebih ambisius meskipun telah terjadi rekor suhu panas selama berbulan-bulan di daratan dan lautan.

Baca Juga

Ketika para utusan berkumpul di Bonn pada awal Juni untuk mempersiapkan pembicaraan iklim tahunan pada bulan November tahun ini, suhu udara permukaan global rata-rata lebih dari 1,5 derajat Celsius. Suhu ini di atas tingkat dunia saat pra-industri selama beberapa hari, demikian ungkap Copernicus Climate Change Service (C3S) yang didanai oleh Uni Eropa.

Meskipun suhu rata-rata untuk sementara waktu telah menembus ambang batas 1,5 Celsius sebelumnya, ini adalah pertama kalinya suhu tersebut terjadi pada musim panas di belahan bumi utara yang dimulai pada tanggal 1 Juni. Suhu laut juga memecahkan rekor pada April dan Mei lalu.

"Kita sudah kehabisan waktu karena perubahan membutuhkan waktu," kata Sarah Perkins-Kirkpatrick, seorang ahli iklim di University of New South Wales, Australia.

Ketika para utusan iklim dari dua negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar bersiap untuk bertemu bulan depan, suhu udara di dua negara ini memecahkan rekor bulan Juni di ibukota Cina, Beijing, dan gelombang panas ekstrem melanda Amerika Serikat.

Beberapa bagian Amerika Utara mengalami suhu 10 derajat Celsius di atas rata-rata musiman pada bulan ini. Dimana asap dari kebakaran hutan menyelimuti Kanada dan Pantai Timur Amerika Serikat dengan kabut asap yang berbahaya menyelubungi udara benua Utara Amerika. Kondisi itu, membuat emisi karbon yang diperkirakan mencapai rekor 160 juta metrik ton.

Di India, salah satu wilayah yang paling rentan terhadap perubahan iklim, angka kematian dilaporkan meningkat akibat suhu tinggi yang berkelanjutan. Sementara suhu panas yang ekstrem tercatat di Spanyol, Iran dan Vietnam, telah menimbulkan kekhawatiran bahwa musim panas yang mematikan tahun lalu akan terus berlanjut menjadi rutinitas tahunan.

Berbagai negara sepakat di Paris pada 2015 untuk mencoba menjaga kenaikan suhu rata-rata jangka panjang di kisaran 1,5 derajat Celsius. Namun, saat ini terdapat 66 persen kemungkinan rata-rata tahunan akan melewati ambang batas 1,5 derajat Celsius. Kesepakatan itu setidaknya hingga 2027, demikian prediksi Organisasi Meteorologi Dunia pada Mei.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement