REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan pertemuan pertama tentang potensi risiko kecerdasan buatan (AI) terhadap pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Pertemuan tersebut diselenggarakan pada 18 Juli oleh Duta Besar Inggris Barbara Woodward.
Pembicaraan akan mencakup sambutan dari para ahli dan masukan dari Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres. Bulan lalu, dia memperingatkan risiko dari teknologi AI yang semakin canggih.
“Kita harus menanggapi peringatan itu dengan serius,” kata Guterres, dilansir Fox News, Senin (17/7/2023).
Guterres telah mengumumkan rencana untuk menjadi staf dewan penasehat AI pada bulan September. Sementara itu, Woodward menjelaskan Inggris ingin bekerja dalam pendekatan multilateral untuk mengelola peluang dan risiko AI.
Menurut dia, manfaat AI dapat membantu potensi penutupan kesenjangan antara negara berkembang dan negara maju. Di saat yang bersamaan dia juga memikirkan risiko potensial keamanan serius.
Eropa telah memimpin regulasi AI dan anggota parlemen Uni Eropa (UE) menandatangani aturan untuk AI pada bulan Juni. Pekan lalu, lebih dari 150 eksekutif mendesak UE untuk memikirkan kembali peraturan tersebut.
Mereka mengatakan peraturan itu akan mempersulit perusahaan Eropa untuk bersaing dengan saingan internasional. “Peraturan semacam itu dapat menyebabkan perusahaan yang sangat inovatif memindahkan aktivitas mereka ke luar negeri dan investor menarik uang mereka dari pengembangan AI Eropa. Hasilnya akan menjadi kesenjangan produktivitas,” kata mereka.
Namun, CEO OpenAI Sam Altman dan para pemimpin perusahaan mengatakan AI membutuhkan pengawas internasional. Guterres dan Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak telah mendukung gagasan semacam itu.