REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lentera Anak mengapresiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang secara konsisten sejak 2011 memberikan penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) untuk mendukung pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak.
“Kami mengapresiasi penghargaan KLA sebagai wujud komitmen Kemen PPPA untuk mendorong sistem pembangunan berbasis hak anak yang terintegrasi, terencana, dan berkelanjutan, dalam bentuk kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin hak anak terpenuhi dan terlindungi,” kata Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari dalam keterangannya pada Rabu (26/7/2023).
Penghargaan KLA, jelas Lisda, akan mendorong Pemerintah Daerah untuk terus meningkatkan kualitas implementasi pemenuhan hak anak dan perlindungan anak dari keseluruhan klaster. “Tentunya butuh komitmen lintas sektor untuk memenuhi standar layak anak secara penuh, mengingat isu-isu yang melingkupi anak sangat kompleks, ditambah lagi banyaknya persoalan di daerah, mulai dari masalah sosial, fisik dan psikis, yang berpotensi menghambat pemenuhan hak anak,” tegasnya.
Penghargaan KLA diberikan kepada daerah setelah melalui proses evaluasi untuk mengukur capaian kinerja pelaksanaan 24 indikator yang dikelompokkan berdasarkan lima klaster hak anak dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Kelima klaster tersebut masing-masing adalah kelembagaan, hak sipil dan kebebasan, lingkungan dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya, serta klaster perlindungan khusus.
Dari hasil evaluasi oleh tim penilai yang merupakan gabungan tim Kementerian PPPA, Kementerian/Lembaga lainnya dan tim independen, akan ditetapkan peringkat tiap-tiap daerah, mulai dari peringkat Pratama, Madya, Nindya, Utama dan KLA Paripurna.
Tahun ini penghargaan KLA diberikan kepada 360 daerah. Dari angka tersebut, sebanyak 19 Kabupaten/Kota masuk kategori KLA Utama. Selebihnya masing-masing ada 76 kabupaten/Kota masuk kategori Nindya, 130 (Madya) dan 135 (Pratama).
Fenomena menarik terlihat dari terus meningkatnya kabupaten/kota yang meraih penghargaan KLA Utama. Dimana tahun ini ada tambahan 11 daerah yang naik peringkat dari kategori Nindya menjadi KLA Utama. Kesebelas kabupaten/kota itu adalah Kabupaten Bantul, Kota Balikpapan, Kota Sawahlunto, Kabupaten Tulungagung, Kota Semarang, Kota Jakarta Utara, Kota Jakarta Selatan, Kota Padang, Kota Padang Panjang, Kota Madiun, dan Kabupaten Sragen. Sehingga total tahun ini terdapat 19 kabupaten/Kota yang mendapat predikat KLA Utama, yakni daerah yang meraih pencapaian nilai 801-900, dan tinggal selangkah lagi untuk meraih KLA Paripurna.
Adapun dua kota yang pertama kali meraih penghargaan KLA Utama adalah Surakarta dan Surabaya, yang mendapatkannya pada 2017. Kedua kota tersebut meraih KLA Utama setelah bertahun-tahun merintis dari predikat KLA Pratama, Madya, dan Nindya. Pada 2019, peraih KLA Utama bertambah satu kota yaitu Denpasar, dan pada 2021 bertambah lagi dengan kehadiran kota Yogyakarta. Barulah pada 2022 jumlah peraih KLA Utama menjadi 8 kabupaten/kota, dengan kehadiran kabupaten Siak, kabupaten Sleman, kota Probolinggo dan kota Jakarta Timur. Dan pada tahun ini, ada 11 daerah yang naik peringkat menjadi KLA Utama, sehingga total peraih KLA Utama adalah 19 kabupaten/kota.
Dari hasil analisis Lentera Anak terhadap 19 kabupaten/kota peraih KLA Utama, belum semua daerah memenuhi indikator 17 KLA yang termasuk dalam klaster kesehatan dasar dan kesejahteraan. Indikator 17 KLA tersebut adalah ketersediaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan ketersediaan larangan iklan, promosi dan sponsor rokok. Dimana dari sisi ketersedian Peraturan Daerah (Perda) KTR, ada sebanyak 15 kabupaten/kota yang sudah memiliki Perda KTR, satu daerah yakni kabupaten Sleman yang memiliki Peraturan Bupati (Perbup) KTR dan ada tiga kotamadya (Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara) belum memiliki Perda KTR.
Dari sisi ketersediaan pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok, ada sebanyak 12 kabupaten/kota yang sudah memiliki aturan pelarangan iklan rokok dalam berbagai bentuk. Ada yang berwujud Perda tentang Penyelenggaraan Reklame (kota Surakarta, kota Padang, Kota Madiun), ada pula berbentuk Perda Kota Layak Anak (kota Padang, kota Sawahlunto, Kabupaten Bantul), Surat Edaran Walikota, Bupati, atau Sekretaris Daerah (kota Balikpapan, kota Denpasar, kabupaten Siak). Selebihnya ada yang berbentuk Peraturan Gubernur (Pergub) Larangan Penyelenggaraan Reklame Rokok (Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara) serta pasal pelarangan iklan dan promosi rokok dalam Perda KTR (Kota Padang Panjang).
Kondisi ini menjadi ironi mengingat salah satu upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak adalah perlindungan dari zat adiktif rokok, dan dari paparan pemasaran masif industri rokok. Tanpa adanya pengaturan pelarangan iklan rokok di daerah, maka iklan, promosi dan sponsor rokok, akan masif menyasar anak, bahkan bertebaran di dekat sekolah dan tempat anak berkegiatan lainnya, dan terus menargetkan anak menjadi perokok pemula.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa indikator 17 KLA juga memiliki poin penilaian yang tinggi. Penambahan poin dari indikator 17 KLA tentunya bisa membantu daerah untuk mengumpulkan minimal 901 poin untuk mencapai predikat KLA Paripurna. Apalagi pihak Kemen PPPA sendiri telah menegaskan bahwa salah satu kendala daerah untuk menjadi KLA Paripurna karena masih membolehkan adanya iklan, promosi, dan sponsor rokok, baik di dalam maupun di luar ruang.
Yang juga membuat miris adalah, dari hasil observasi Lentera Anak bersama jaringan perlindungan anak di beberapa daerah bahwa masih ada sejumlah kabupaten/kota yang menggunakan strategi instan menaikkan peringkat KLA dengan aktif mencopot iklan rokok pada saat penilaian KLA. Namun iklan-iklan rokok tersebut akan kembali marak di dalam dan di luar ruang setelah berakhirnya proses penilaian KLA. Padahal strategi instan mencopot iklan rokok ini tentunya diawasi oleh multi-stakeholder, mulai dari lembaga swadaya masyarakat daerah, Forum Anak dan media massa di daerah. Bahkan di beberapa daerah, Forum Anak aktif melakukan pemantauan iklan rokok dan melaporkan hasil temuannya kepada pimpinan daerah.
Lisda menegaskan, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak tahun 1990, yang mengandung konsekuensi adanya komitmen Pemerintah, baik pusat dan daerah, untuk melindungi salah satu hak anak, yakni hak anak untuk sehat. Pemerintah pusat dan daerah tanpa kecuali, harus hadir melindungi kesehatan anak, salah satunya melalui regulasi yang melindungi anak dari zat adiktif.
Sudah banyak studi menyebutkan adanya relasi dari paparan iklan rokok yang terus menerus terhadap keinginan untuk merokok. Iklan, promosi dan sponsor rokok dengan metode metode subliminal advertising mempengaruhi alam bawah sadar anak sehingga membuat rokok terlihat normal. Studi Surgeon General-WHO menjelaskan, iklan rokok telah menciptakan kesan bahwa merokok adalah baik dan biasa, serta mendorong anak mencoba merokok. Survei cepat di 10 kota oleh Komnas Perlindungan Anak (2012) menunjukkkan 99,6 persen remaja terpapar iklan rokok luar ruang, meningkatkan persepsi positif tentang rokok dan mendorong keinginan merokok. Hasil Survei Lentera Anak (2021) menunjukkan lebih dari separuh responden (60,6 persen) terpapar iklan rokok elektronik, sebanyak 78,3 persen mengaku penasaran, dan ada 40 persen dari mereka ingin beralih dari rokok konvensional ke rokok elektronik.
Sehingga, tanpa pembatasan pengaturan iklan, promosi dan sponsor rokok, anak-anak yang secara psikologis masih sedang berkembang akan mudah dipengaruhi masifnya strategi pemasaran rokok melalui berbagai sarana media, Karena itu, Lentera Anak mendorong agar lebih banyak lagi pimpinan daerah berkomitmen melindungi anak dari bahaya produk zat adiktif tembakau. Salah satunya dengan membuat regulasi yang kuat pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok untuk memenuhi indikator 17 KLA.
Komitmen daerah untuk menjauhkan anak dari paparan iklan rokok akan sangat berkontribusi pada upaya penurunan prevalensi perokok anak yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan prevalensi merokok penduduk usia anak 10-18 tahun naik dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Bappenas bahkan memproyeksikan jumlah perokok anak akan menjadi 15,9 persen, atau sekitar 15,8 juta anak pada tahun 2030, jika tidak ada komitmen dan regulasi yang kuat untuk melindungi anak dari dampak produk zat adiktif tembakau.