REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM – Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson sangat mengkhawatirkan konsekuensi yang akan dihadapi jika terus terjadi unjuk rasa penistaan dan pembakaran Alquran. Ia menegaskan hal ini, Kamis (27/7/2023) di tengah kemaran negara Muslim.
Penistaan terhadap Alquran di Swedia dan Denmark telah dianggap serangan terhadap negara Muslim. Termasuk Turki, yang diperlukan dukungannya oleh Swedia untuk mendapatkan keanggotaan NATO, menyusul invasi Rusia ke Ukraina pada 2022.
Kristersson kepada kantor berita TT mengungkapkan, ada sejumlah permintaan izin demonstrasi telah didaftarkan ke polisi. Aksi tersebut rencananya akan melakukan penistaan lagi terhadap Alquran. Sebelumnya, pembakaran Alquran dilakukan di luar Kedubes Irak.
‘’Jika izin diberikan kepada mereka, kami akan menghadapi beberapa hari di mana muncul risiko sesuatu yang serius bakal terjadi. Saya benar-benar sangat mengkhawatirkan ke mana semua menuju,’’ ujar Kristersson.
Kedubes Swedia di Baghdad, Irak pada 20 Juli 2023 diserbu aksi massa dan dibakar. Massa merespons rencana aksi penistaan terhadap Alquran yang dilakukan imigran asal Irak, Salwan Momika. Pada 28 Juni, ia membakar Alquran di depan sebuah masjid di Stockholm.
Kristersson menambahkan, keputusan apakah akan mengizinkan aksi massa pembakaran Alquran atau sebaliknya ada di tangan polisi.
Badan keamanan dalam negeri Swedia, SAPO menyatakan ancaman pada level 3 dari skala 5. Banyak reaksi terkait pembakaran Alquran. ‘’Swedia tak lagi dilihat tanah yang toleran tetapi jadi tanah anti-Islam,’’ kata pimpinan SAPO Charlotte von Essen, Kamis.
Denmark dan Swedia berulang kali menyatakan tak mendukung pembakaran Alquran tetap tak bisa mencegahnya karena melindungi kebebasan berekspresi. Bahkan, Swedia menuding negara lain seperti Rusia memanipulasi krisis ini untuk menghalanginya masuk NATO.
Di sejumlah negara, ada persepsi bahwa....