REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negera (KASN) Arie Budhiman menyebutkan, berdasarkan hasil pengawasan KASN periode 2020-2023, sebanyak 70 persen dari ASN dengan jabatan fungsional yang melanggar netralitas berprofesi sebagai tenaga pendidik. Ada sejumlah faktor yang mendorong guru dan dosen melakukan pelanggaran netralitas tersebut.
“Pertama, faktor ikatan persaudaraan antara guru dan dosen dengan calon peserta pemilu dan pemilihan. Kedua, adanya kepentingan pragmatis pada sebagian kalangan guru untuk berpindah ke jabatan struktural tertentu,” ujar Arie dikutip dari laman KASN, Selasa (1/8/2023).
Sementara, di kalangan dosen, kata dia, ada keinginan untuk mendapatkan posisi pada struktural kampus atau jabatan lain yang tersedia di luar kampus, baik pada struktur pemerintahan maupun swasta. Menurut dia, para dosen sepatutnya menjadikan keahlian yang dimiliki untuk menjadi sumber substansi gagasan dan pijakan kajian bagi para politisi.
“Sehingga siapa pun yang menang, substansi gagasan akan diterjemahkan menjadi kebijakan publik. Karena itu, dosen tidak perlu menjadi tim sukses politisi tertentu. Para tenaga pendidik, baik guru atau dosen, tidak dibenarkan menjadi bagian dari dewan pakar atau tim pemenangan peserta pemilu dan pemilihan," kata dia.
Secara lengkap, berdasarkan hasil pengawasan KASN periode 2020-2023, sebanyak 1.596 ASN terbukti melanggar dengan 533 ASN atau 26,5 persen, di antaranya adalah ASN dengan jabatan fungsional. Dari total 533 ASN pelanggar pada jabatan fungsional, sejumlah 373 ASN atau 70 persen di antaranya berprofesi sebagai tenaga pendidik, yang terdiri atas dosen dan guru.
Adapun jenis pelanggaran yang banyak dilakukan adalah kampanye atau sosialisasi media sosial melalui unggahan, komenter, membagikan, atau menyukai sebesar 34,9 persen; mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan sebesar 27,8 persen; foto bersama bakal calon atau pasangan calon 14,5 persen; dan menjadi peserta kampanye dengan memakai atribut partai, atribut PNS, atau tanpa atribut 4,5 persen.
Sementara itu, Inspektur IV Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Subiyantoro, menyampaikan, pihaknya telah berupaya membangun sistem pencegahan netralitas ASN. Kemendikbudristek akan membuat surat edaran menteri dan nantinya akan ditindaklanjuti dengan pembentukan satgas netralitas serta melaksanakan supervisi sebagai bentuk pembinaan.
“Kami saat ini sudah membangun dan menyosialisasikan kanal-kanal pelaporan di lingkungan Kemendikbudristek sebagai komitmen menjaga netralitas ASN,” kata Subiyantoro.
Dia menjelaskan, pengawasan yang kuat disertai dengan penetapan sanksi dan pencegahan menjadi kunci untuk memastikan netralitas ASN pada tahun politik 2024. Hal itu berlaku khususnya bagi ASN tenaga pendidik berupa dosen dan guru.
Dampak Tercorengnya Netralitas
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Wawan Mas’ud menyampaikan, pada konteks netralitas ASN di kampus, secara administratif kepegawaian ASN tentu tidak boleh memihak dan partisan. Akan tetapi, mereka harus berpihak pada nilai kebenaran.
“Peran kampus harus berpihak pada ilmu pengetahuan dan nilai kebenaran, bukan pada warna politik tertentu,” kata dia.
Wawan mengatakan, terdapat beberapa dampak dari kampus partisan dan berpihak ke kelompok politik tertentu. Dampak-dampak tersebut, yakni mengurangi kebebasan akademik dan membatasi ruang diskusi, posisi politik tertentu pimpinan kampus yang tidak merepresentasikan civitas akademika, dan mereduksi kredibilitas kampus.
“Kewajiban moral kampus adalah fokus pada nilai kebenaran dan hasil diskusi kampus bisa menjadi referensi penyusunan kebijakan," kata Wawan.
Di samping itu, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menegaskan, sekolah adalah tempat anak-anak mendapatkan pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan politik. Apabila sekolah dan kampus malah berpihak dalam politik praktis, kondisi tersebut tidaklah sehat.
“Sekolah dan kampus idealnya bisa memberikan pendidikan politik, seperti pentingnya partisipasi dalam pemilu, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan pemilih, dan informasi pemilih. Bukan malah menjadi partisan,” ujar Khoirunnisa.
Dia menjelaskan, jika dilihat dari persentase pemilih muda, yaitu pelajar SMA dan mahasiswa, dalam pemilu dan pemilihan 2024 yang berjumlah 52 persen dari total pemilih, pendidikan politik menjadi hal yang penting.
Sebab itu, tenaga pendidik dan kampus harus benar-benar bersikap netral, mengingat mereka adalah pihak yang berinteraksi secara langsung dengan para pemilih muda.