REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah dinilai belum serius dalam mengatasi masalah polusi udara hingga saat ini. Hal itu terjadi meskipun Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Kota dan Semesta (Ibukota) telah memenangkan gugatan warga negara atau citizen law suit (CLS) mengenai Hak Udara Bersih di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021 yang lalu.
Gugatan masalah polusi udara itu menggugat Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten.
Pengacara Publik LBH Jakarta yang juga menjadi tim advokasi Koalisi Ibu Kota, Natalia Naibaho mengatakan, pemerintah harus menjalankan putusan pengadilan atas gugatan warga negara yang telah dimenangkan hingga tingkat pengadilan tinggi itu. Dia menekankan agar pemerintah tidak hanya sebatas membentuk regulasi atau tindakan formalitas belaka dalam mengatasinya, tetapi tindakan nyata.
Natalia menjelaskan, bahwa dalam permasalahan udara yang semakin memburuk, setidaknya ada tiga poin hak asasi masyarakat yang terlanggar. Pertama, hak atas lingkungan yang bersih dan sehat. Kedua, hak atas informasi, masyarakat tidak mendapatkan informasi yang jelas atas masalah kualitas udara dan upaya yang dilakukan untuk mengendalikan pencemaran udara.
“Salah satunya sistem peringatan dini (early warning system) ketika kualitas udara semakin memburuk, juga inventarisasi dan pengetatan baku mutu ambien berdasarkan kajian riset yang ilmiah. Semua hal ini harus diinformasikan dan disebarluaskan kepada masyarakat,” kata Natalia.
Poin ketiga yakni ha katas kesehatan. Udara yang tercemar berpotensi berdampak pada kesehatan masyarakat, terutama kalangan rentan seperti balita, lanjut usia (lansia) dan juga wanita hamil.
“Hingga hari ini belum ada upaya solutif untuk mencegah dan memulihkan kualitas udara tersebut,” tutur dia.
Natalia melanjutkan, setidaknya ada lima upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menindaklanjuti masalah tersebut. Pertama, Presiden segera mengambil tindakan nyata untuk menuntaskan permasalahan pencemaran udara dan berhenti menunda tanggung jawab dengan menggunakan upaya hukum. Pasalnya, bukannya melaksanakan putusan pengadilan, Presiden dan Menteri LHK justru mengajukan kasasi.
Kedua, Menteri LHK melakukan supervisi terhadap Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dalam melakukan inventarisasi emisi lintas batas Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Ketiga, Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kinerja Pj Gubernur DKI Jakarta dalam pengendalian pencemaran udara.
Keempat, Pemprov DKI Jakarta melakukan inventarisasi terhadap baku mutu ambien, menetapkan status mutu udara ambien daerah setiap tahunnya dan mengumumkannya kepada masyarakat, serta menyusun dan mengimplementasikan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar.
Kelima, Menteri Kesehatan melakukan perhitungan penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di DKI Jakarta yang perlu dicapai sebagai dasar pertimbangan Pj Gubernur DKI Jakarta dalam penyusunan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara.