REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Anggaran pendidikan untuk tahun depan yang tertuang dalam RAPBN 2024 naik signifikan dibandingkan 2023. Kenaikan anggaran ini diharapkan bisa menuntaskan pengangkatan sejuta guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang sempat tersendat-sendat dan tak kunjung rampung.
“Kami tentu menyambut baik keputusan pemerintah menaikkan anggaran pendidikan pada 2024. Kami berharap pemerintah mengalokasikan kenaikan anggaran tersebut untuk menuntaskan program pengangkatan sejuta guru honorer menjadi PPPK sehingga menjadi legacy terbaik pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya, Jumat (19/8/2023).
Pemerintah diketahui mengalokasikan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2024 sebesar Rp 660,8 triliun. Jumlah ini meningkat 19,7 persen dari outlook 2023 sebesar Rp 552,1 triliun. Artinya, ada kenaikan lebih dari Rp 100 triliun. Di sisi lain, pemerintah juga menaikkan gaji ASN, TNI, dan Polri pada tahun depan. Hal ini disampaikan Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato pengantar nota keuangan jelang Peringatan HUT ke-78 Kemerdekaan RI di Gedung DPR/MPR (16/8/2023).
Huda mengatakan, pemerintah harus menjadikan penyelesaian pengangkatan guru honorer menjadi PPPK sebagai prioritas. Menurutnya, jika persoalan guru honorer ini tuntas, pemerintah telah menyelesaikan satu persoalan dasar dari penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
“Persoalan kesejahteraan guru ini menjadi masalah klasik yang tak kunjung tuntas sejak puluhan tahun lalu. Persoalan ini memberikan dampak besar terhadap mutu dan kualitas peserta didik. Jika masalah kesejahteraan guru tuntas, kita bisa lanjut menyelesaikan persoalan lain, seperti penyempurnaan kurikulum hingga ketersediaan sarana prasarana penunjang pendidikan lainnya,” katanya.
Lebih jauh Huda menilai, besaran anggaran pendidikan saat ini belum memberikan lompatan besar terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia saat ini. Situasi ini terjadi karena alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan belum sepenuhnya untuk fungsi pendidikan.
“Sebagai gambaran dari alokasi Rp 660,8 triliun, lebih dari 50 persen anggaran dialokasikan dalam bentuk transfer ke daerah (TKD) yakni Rp 346,6 triliun. Sementara 237 triliun untuk belanja pemerintah pusat yang terbagi untuk Kemendikbudristek dan Kementerian Agama, sisanya untuk dana abadi pendidikan sebesar Rp 77 triliun,” ujar Huda menguraikan.
Politikus PKB ini menilai, besaran alokasi dana pendidikan dalam bentuk TKD ini kerap tidak optimal untuk fungsi pendidikan karena beragam kepentingan dari para kepala daerah. Para kepala daerah sering kali mempunyai visi yang berbeda dalam melihat prioritas kebutuhan penyelenggaraan pendidikan di wilayahnya.
“Contoh paling konkret adalah bagaimana mereka memandang urgensi pengangkatan guru honorer menjadi PPPK. Ada kepala daerah yang melihat masalah ini harus segera dituntaskan, ada yang melihat belum terlalu urgen. Akibatnya persoalan ini menjadi berlarut-larut sampai saat ini,” kata dia.
Ke depan, kata Huda, dibutuhkan terobosan hukum agar pemerintah pusat mempunyai otoritas lebih besar dalam mengarahkan penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air. Termasuk dalam memastikan 20 persen APBN benar-benar untuk fungsi pendidikan.
“Termasuk memberikan reward dan punishment bagi kepala daerah yang mendukung atau tidak mendukung program prioritas dalam penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air,” ujar dia.