REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jeritan perguruan tinggi swasta (PTS) atas seleksi jalur mandiri pada Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) Perguruan Tinggi Negeri (PTN) disebut penting untuk dipertimbangkan dalam upaya melakukan evaluasi jalur tersebut. Tapi, ada persoalan lain yang harus turut menjadi prioritas, yakni adanya potensi komersialisasi dan pemerasan.
"Itu (dampak terhadap PTS) juga penting untuk dipertimbangkan. Tapi yang prioritas itu ya soal potensi komersialisasi dan pemerasan," ujar Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, kepada Republika, Sabtu (16/9/2023).
Dia pun menyesalkan seleksi masuk PTN jalur mandiri tetap dibuka. Semestinya, kata Ubaid, jika memang ingin SNPMB betul-betul transparan dan akuntabel, maka cukup dengan seleksi bersama saja, tidak perlu ada seleksi mandiri. Sebab itu, menurut dia, jalur mandiri semestinya dihapus saja.
"Mestinya dihapus saja karena rawan pungli dan pemerasan," tutur dia.
Ubaid juga melihat, sebenarnya seleksi bersama di dua jalur lainnya sudah cukup apabila pemerintah ingin membuat seleksi masuk PTN transparan dan akuntabel. Dia menilai, dengan masih adanya jalur mandiri menunjukkan masih adanya sesuatu yang ditutup-tutupi dan tidak transparan.
"Untuk apa masih perlu jalur mandiri jika itu bisa dilakukan melalui seleksi bersama, ini kecurigaan publik soal ada udang dibalik batu, ada uang di balik bangku," jelas dia.
Persoalan pada jalur mandiri salah satunya diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (APTISI), Budi Djatmiko. Menurut dia, ada potensi penyelewengan korupsi dengan model peraturan saat ini, yang tidak dilakukan pembatasan secara pasti waktu dan kuota mahasiswa yang diterima.
“Saya berapa kali ketemu dengan temen-temen KPK juga bicara tentang permasalahan bagaimana PTN itu sangat-sangat memungkinkan dalam hal ini melalukan penyelewengan korupsi dengan model-model aturan yang dikeluarkan Dikti sekarag. Tidak dibatasi waktunya, kuotanya. Itu jadi masalah,” ungkap Budi beberapa waktu lalu.
Sebab itu, dia menilai pembatasan yang jelas akan kedua hal itu penting untuk dilakukan. Ketika pembatasan sudah dilakukan, perguruan-perguruan tinggi swasta akan dapat dengan sendirinya kembali ke kondisi sehat. Para rektor di PTN pun tak lagi harus “mengejar setoran” lewat jalur mandiri tersebut.
“Misalnya di Jakarta itu ada UIN Jakarta. Itu nerima bisa 15.000. Dulu mereka terima cuma 3.000-an. UI juga sama, dulu di 3.000-4.000, sekarang sudah 15.000. Kalau (PTN) memberhentikan (jumlah itu), kembali seperti dulu 3.000, berarti ada 12 ribu itu masuk ke PTS. Itu sehat semua. Nggak usah dibantu udah sehat itu,” kata dia.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nizam mengatakan jalur mandiri tetap. Menurut dia, hal itu karena amanat undang-undang.
Alasan berikutnya, dia sebut sebagai alasan substantif. Menurut dia, keragaman perguruan tinggi luas, sehingga untuk mengakomodasi keragaman tersebut, banyak aspek yang tidak bisa diakomodasi dengan seleksi secara nasional.
Seleksi mandiri memberi ruang untuk keragaman tersebut dan mengakomodasi pengembangan SDM di daerah itu. Menurut dia, hal itu salah satu manfaat dari seleksi jalur mandiri yang dibutuhkan pada masyarakat.