REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Indonesia dan Ethiopia sepakat bersama-sama mengatasi berbagai hambatan ekspor kopi dunia. Sebagai sesama negara penghasil kopi, kerja sama kedua negara ini harus diperkuat.
Sehingga, sebagai komoditas ekspor dunia, kopi akan mampu mengangkat harkat perekonomian dan sosial kedua negara. Lebih dari itu kopi juga diharapkan bisa dioptimalkan sebagai pilar kesejahteraan masyarakat, baik di Indonesia maupun Ethiopia.
Hal ini ditegaskan oleh Duta Besar (Dubes) Ethiopia untuk Indonesia, HE Prof Fekadu Beyene Aleka, usai melihat langsung proses produksi Pabrik Kopi Banaran, Desa Gemawang, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (2/10/2023).
Dubes Ethiopia mengungkapkan, dari kunjungan hari ini ia mendapatkan pengalaman yang sangat berharga. Karena bisa mengetahui kopi ini diproses dari hulu sampai dengan hilir di Indonesia.
Menurut dia, di pabrik kopi Banaran yang sudah beroperasi sejak 1911 dan sekarang dikelola oleh BUMN Perkebunan (PTPN IX) bisa melihat bagaimana proses pengolahan kopi mampu memberdayakan masyarakat.
Tetapi yang lebih penting adalah, bagaimana proses pengolahan yang dilakukan di pabrik ini telah menghasilkan bijh kopi yang berkualitas lokal dan internasional. “Dan cara-cara itu telah dilakukan di pabrik Banaran,” ungkapnya.
Maka, lanjut Prof Fekadu, menjadi hal yang penting Ethiopia untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam mengatasi berbagai hambatan dalam kegiatan ekspor kopi di pasar internasional.
Sehingga sebagai sesama negara pengekspor kopi, masing-masing bisa mengupayakan proses pengolahan mutu kopi yang terbaik dan harga yang terbaik. “Sehingga kami sama-sama bisa memberikan kesejahteraan lebih sampai kepada para petani kopi,” jelas dia.
Director of Europe II, Ministry of Foreign Affairs Indonesia, Winardy Lucky menambahkan, ada beberapa negara di kawasan Eropa yang memberikan harga dan standar yang cukup tinggi terkait dengan komoditas kopi.
Maka kerja sama diperlukan agar baik Indonesia maupun Ethiopia bisa sama-sama menjaga kulaitas dan meningkatkan standar produksi sesuai yang ditetapkan oleh negara-negara di kawasan Eropa.
Karena ini menjadi faktor penting yang akan membangun kepercayaan negara-negara di Eropa. Kepercayaan dalam hal ini tidak sekadar kualitas serta keberlanjutan pasokan, namun juga terkait tata kelola produksi kopi.
“Misalnya, di beberapa negara Uni Eropa yang mensyaratkan produk kopi yang masuk benar–benar aspek ramah lingkungan dan sejumlah ketentuan lain yang harus dipenuhi,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Pemasaran Holding Perkebunan, Dwi Sutoro menambahkan, 96 – 98 persen produksi kopi Indonesia berasal dari petani. Sedangkan produksi PTPN selama ini kontribusinya hanya sebesar 2,5 persen.
Maka PTPN dalam dua tahun terakhir terus menggalang berbagai stakeholder yang ada untuk kerja bareng dan masing-masing berperan sesuai dengan bidangnya.
BUMN mungkin best practice-nya untuk mengembangkan hasil produksi dari petani, dari Kementerian Luar Negeri, dan pegiat bisnis kopi menata jalur ke hilir. “Supaya kopi kita ini menjadi disegani dan menjadi bagian dari kopi berkualitas yang diterima pasar dunia,” jelasnya.
Seperti diketahui, lanjut Dwi Sutoro, Indonesia kini menjadi negara penghasil kopi terbesar keempat setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia. Sedangkan Ethiopia merupakan negara penghasil kopi terbesar kelima.
“Jadi kalau Indonesia bekerja sama dengan Ethiopia, insya Allah akan mampu menjadi kekuatan yang besar untuk bersama-sama meningkatkan produk kopi masing-masing,” tegas dia.