Oleh: KH Dr H Hilmy Muhammad MA, Pengusuh Ponpes Krapyak dan Anggota DPD RI.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Almas Tsaqibbirru Re A, mahasiswa asal Surakarta, mengenai uji materi undang-undang terkait batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Padahal sebelumnya, di hari yang sama (Senin, 16/10/2023) MK telah memutuskan penolakan atas permohonan serupa dari pemohon yang lain.
Keputusan MK ini mendapatkan respons negatif dari berbagai pihak. Pasalnya, ada dua permohonan yang nyaris sama tetapi memiliki keputusan yang berbeda. Adanya hal ini membuat masyarakat kecewa karena putusan MK memiliki motif yang berbeda.
Maka itu, putusan MK sekarang ini bukan sekadar putusan atas suatu perkara, melainkan ada motif tertentu.
Dan, sebagai keputusan MK, kita hormati, kita apresiasi. Namun, kita merasa seperti ada udang di balik batu. Dalam bahasa Arab, kalimatu haqqin yuradu bihal bathil, keputusannya benar, tapi untuk maksud yang tidak pas.
Kekecewaan tersebut, membuat kesan publik bila negara kini sedang dipermainkan untuk tujuannya sendiri. Akibatnya, akhirnya dapat berakibat serius, yakni akan merusak independensi MK.
Mengapa demikian? Sebab, negara menjadi seperti dipermainkan. Celakanya permainan yang vulgar pula. Ada kalangan tertentu yang sepertinya punya tujuan yang semestinya belum waktunya, tetapi dipaksakan melalui cara-cara dan menggunakan instrumen negara agar terlihat benar.
Akhirnya, putusan MK tersebut kemudian dapat menjadi indikasi bila bangsa ini mengalami kemunduran. Kepercayaan masyarakat terhadap MK rusak dan justru dirusak ketika menjelang pesta demokrasi.
Meski demikian, masyarakat dihimbau tetap tenang dan sabar untuk tidak mudah terpancing dengan suasana yang semakin memanas ini.