REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal usia capres-cawapres 40 tahun dan pernah menjadi kepala daerah bisa memicu hengkangnya Partai Golkar dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo Subianto.
Sebagai parpol terbesar setelah Gerindra di KIM, menurut Karyono, Golkar menjadi parpol yang paling 'dirugikan' dengan putusan MK. Hal itu terjadi jika sampai Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto.
"Masuknya Gibran sebagai wakil Prabowo bisa menjadi trigger bagi Golkar untuk keluar dari koalisi. Tapi, mungkin juga ada variabel lain yang membuat PAN dan Golkar itu bertahan tetap mendukung Prabowo meski berpasangan dengan Gibran, semisal karena tekanan politik atau pertimbangan peluang kemenangan yang lebih realistis," ucap Karyono saat dihubungi di Jakarta, Selasa (17/10/2023).
MK baru saja mengabulkan sebagian gugatan terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal capres dan cawapres. Dalam putusannya, MK menetapkan syarat pendaftaran capres-cawapres harus berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Putusan itu bakal menguntungkan Wali Kota Solo Gibran. Putra tertua Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut saat ini memang baru berusia 36 tahun. Namun, tetap bisa maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo dengan keluarnya putusan MK tersebut.
Permohonan uji materi itu diajukan Almas Tsaqib Birru Re A, seorang mahasiswa Universitas Negeri Surakarta (UNS). Almas ialah putra dari Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Almas sang penggugat juga dikenal sebagai pengagum Gibran di Solo.
Karyono menilai putusan MK itu sangat ambigu. Pasalnya, MK juga menolak gugatan permohonan batas usia minimal capres-cawapres yang diajukan tiga kelompok pemohon lainnya. Dalam salah satu putusan menolak, MK menyebut regulasi mengenai batas usia minimal capres-cawapres merupakan open legal policy atau kewenangan DPR sebagai pembentuk undang-undang.
"Tapi, pada saat memutuskan perkara mahasiswa Almas Tsaqib Birru Re A, MK malah menambah frasa pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Padahal, di awal dia (MK) sudah menyerahkan bahwa soal syarat pencalonan cawapres itu adalah kewenangan DPR dan pemerintah. Semestinya MK tidak masuk lagi di ranah itu," ucap Karyono.
Karyono memandang putusan MK itu juga bakal memicu konflik tajam antara Jokowi dan PDI P. Jika tidak diredam, konflik di tataran elite bahkan bisa menjalar menjadi konflik horizontal antara simpatisan PDIP dan pendukung Jokowi. Apalagi, Ketua MK saat ini, Anwar Usman, ialah besan Jokowi.
"Tentu ini akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Bahkan lebih dari itu, putusan MK itu bisa menimbulkan konflik vertikal dan horizontal. Konflik Jokowi dan Megawati dan pendukungnya akan tajam karena Gibran yang dibesarkan oleh PDI P, kemudian tiba-tiba keluar dari PDIP dan bergabung dengan Prabowo," ucap Karyono.
Jika pasangan Prabowo-Gibran terealisasi, Karyono menilai, Jokowi bisa ditinggalkan para pemilih kritis dan kaum intelektual yang selama ini mendukung pemerintahannya. Pasalnya, Jokowi dianggap tengah membangun dinasti politik dengan memuluskan kandidasi Gibran sebagai cawapres lewat putusan MK.
"Salah satu dampak lain adalah jika putusan MK ini sukses memasangkan Prabowo-Gibran, konflik akan semakin menguat. Itu dampak dari kemarahan civil society dan pemilih kritis itu sangat mungkin akan bergabung bersama-sama dengan PDI P dan partai pendukung Ganjar," ucap Karyono.