REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Irman Gusman Center (IGC) menilai pencoretan nama Irman Gusman dari Daftar Calon Tetap (DCT) pemilihan anggota DPD RI untuk Pemilu 2024 melanggar sejumlah asas hukum yang berlaku secara universal.
Dalam siaran persnya, IGC menyebut bahwa Irman Gusman dicoret dari DCT setelah KPU Provinsi Sumatera Barat mendapat surat dinas dari KPU RI yang meminta KPU Provinsi untuk “memedomani” putusan Mahkamah Agung No. 28 P/HUM/2023 tertanggal 29 September 2023.
Putusan MA tersebut menyatakan, “Pasal 18 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD, bertentangan dengan Pasal 182 huruf (g) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023, dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.”
Pasal 182 huruf (g) dimaksud menyatakan “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Menurut analisis IGC, Pasal 18 ayat (2) PKPU No. 11/2023 tersebut, secara asas hukum yang berlaku universal, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum, sebagaimana disebutkan dalam putusan MA dimaksud.
Dikatakan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi karena dalam sidang pengadilan sekalipun berlaku asas In dubio pro reo. Apabila hakim ragu atau berada dalam ketidakpastian terhadap dua pilihan yang didalilkan, maka hakim wajib memilih opsi yang paling menguntungkan terdakwa, bukan opsi yang paling memberatkan terdakwa. Asas ini berlaku di seluruh dunia dan tak boleh dilanggar.
Ketika ancaman hukuman didalilkan 5 (lima) tahun atau lebih dalam Pasal 12 (b) UU Tipikor itu diperhadapkan dengan ancaman 1 (satu) tahun sampai 5 (lima) tahun dalam Pasal 11 UU Tipikor, maka MA memilih membatalkan putusan Pengadilan Negeri yang menggunakan Pasal 12 (b) terhadap Irman Gusman, lantas mengadili kembali perkara peninjauan kembali (PK) dimaksud dengan menggunakan Pasal 11.
Karena MA menggunakan pasal dakwaan yang paling menguntungkan terdakwa, bukan pasal dakwaan yang paling memberatkan terdakwa, maka putusan akhir yang ditetapkan oleh MA dan sudah berkekuatan hukum tetap adalah putusan pidana 3 (tiga) tahun penjara, bukan ancaman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Putusan MA No. 97/Pid.Sus/2019 inilah yang bersifat Lex specialis dan wajib diterapkan karena sudah berkekuatan hukum tetap. Di sinilah letak kekhususan dari putusan dimaksud, sejalan dengan narasi putusan MA No. 28 P/HUM/2023 tertanggal 29 September 2023 bahwa Pasal 18 ayat (2) PKPU No. 11/2023 itu “tidak berlaku umum” artinya hanya dapat diberlakukan dalam kasu-kasus Lex specialis.
Pasal 182 huruf (g) UU Pemilu juga mendalilkan “exeptional clause” yaitu apabila yang bersangkutan secara terbuka dan jujur mengakui kepada publik tentang statusnya sebagai mantan terpidana. Persyaratan ini sudah dipenuhi Irman Gusman sehingga ia lolos tahap verifikasi administrasi dan tahap verifikasi faktual.
Dua tahap verifikasi ini merupakan dasar dimasukkannya nama Irman Gusman dalam Daftar Calon Sementara (DCS). 2 Putusan Mahkamah Agung No. 28 P/HUMN/2023 tertanggal 29 September 2023 itu jelas menyatakan bahwa PKPU No. 11/2023 itu “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.”
Frasa “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” artinya kekuatan hukumnya tidak mengikat, tidak wajib diterapkan. Frasa “tidak berlaku umum” artinya hanya bisa diberlakukan secara khusus dalam kasus-kasus khusus.
Hal itu berarti bahwa dalam kasus-kasus khusus atau tertentu, PKPU No. 11/2023 itu dapat diberlakukan, sesuai asas hukum yang berlaku secara universal yaitu Lex specialis derogat lex generali, yaitu aturan hukum yang khusus mengesampingkan aturan hukum yang umum.
Apabila putusan MK No. 12/PUU-XXI/2023 dan putusan MA No. 28 P/HUM/2023 itu diberlakukan terhadap Irman Gusman yang telah selesai menjalani masa hukumannya, maka di situ negara melakukan blunder. Hal ini karena melanggar asas Geen Straf Zonder Schuld yang mewajibkan hakim untuk tidak menghukum siapa pun tanpa ada kesalahannya yang melanggar aturan hukum.
Kegagalan KPU dalam memahami filosofi dari asas Lex specialis lex generali itu juga menyebabkan ia melanggar asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Sebab, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang- undangan yang telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan.
Dikatakan demikian karena Irman Gusman sudah selesai menjalani seluruh masa pidananya sebelum MK mengeluarkan putusan No. 12/PUU-XXI/2023; dan sebelum MA mengeluarkan putusan No. 28 P/HUM/2023.
Memaksakan penerapan putusan MK dan putusan MA dimaksud terhadap Irman Gusman tentu saja merupakan penzaliman yang barbarik, karena melanggar asas Culpae poena par esto, bahwa hukuman harus setimpal dengan kejahatannya.
Padahal sejak menyelesaikan seluruh masa pidananya, Irman Gusman tidak melakukan kejahatan apa pun yang dapat dikenai sanksi pidana. Kenapa, setelah Irman Gusman menyelesaikan seluruh masa pidananya, negara menjatuhkan lagi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama 5 (lima) tahun tanpa ada kesalahan atau pun kejahatan yang diperbuatnya?
Maka sudah tepat ketika MA dalam putusannya No. 28 P/HUM/2023 secara tegas menyatakan bahwa PKPU No. 11/2023 itu “tidak berlaku umum.” Artinya, hanya berlaku dalam kasus-kasus khusus (Lex specialis) yang mengesampingkan Lex generali.
Tapi ketika MA dalam putusan dimaksud memerintahkan KPU untuk mencabut Pasal 18 ayat (2) PKPU No.11/2023, maka KPU seharusnya mencabut PKPU tersebut lantas mengeluarkan PKPU terbaru yang tidak menyalahi asas Lex specialis dimaksud.
Untuk mencabut Pasal 18 ayat (2) PKPU No.11/2023 sesuai perintah putusan MA, atau pun untuk menerbitkan PKPU terbaru sebagaimana diterangkan di atas, KPU wajib berkonsultasi dengan DPR RI dan Pemerintah, sesuai perintah Pasal 75 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.