Senin 13 Nov 2023 20:23 WIB

SodaStream, Target Utama BDS yang Diskriminasi Pekerja Palestina

Kepindahan SodaStream dari Tepi Barat ke Negev Selatan lantaran adanya desakan boikot

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
Pabrik SodaStream di Tepi Barat, tepatnya di permukiman Yahudi Maale Adumim January 28, 2014.
Foto: Reuters/Ammar Awad
Pabrik SodaStream di Tepi Barat, tepatnya di permukiman Yahudi Maale Adumim January 28, 2014.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu target utama boikot Gerakan Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) adalah SodaStream, perusahaan minuman berkarbonasi milik Israel yang berbasis di Negev Selatan, Israel. Dalam laman resmi BDS disebutkan bahwa SodaStream secara aktif terlibat dalam kebijakan Israel menjajah tanah Palestina di Naqab dan memiliki sejarah panjang diskriminasi rasial terhadap pekerja Palestina.

Menurut para pekerja Palestina di Pabrik Tepi Barat, mereka seringkali diberikan makanan yang sedikit dan tidak sesuai pada saat Ramadhan, seperti yang terjadi pada 2014 para pekerja asal Palestina tidak mendapatkan makanan yang layak saat berbuka puasa.

Baca Juga

Ahmed Nasar Al-Adin, seorang pekerja di Departemen Jaminan Kualitas Logam di SodaStream menceritakan pada hari pertama dan kedua makanan masih baik-baik saja sesuai dengan janji manajemen yang akan memberikan makan setelah pekerja berpuasa selama 16 jam. Namun setelah itu para pekerja mendapatkan makanan yang tak layak.

"Sekitar 40 pekerja shift malam yang sedang kelelahan hanya menerima dua nampan makanan dari kafetaria yang berisi sedikit schnitzel dan satu lagi berisi ayam yang rasanya tidak enak dan tidak cukup untuk semua pekerja," ujarnya dikutip +972 Magazine.

Akibatnya, para pekerja menghubungi supervisor kafetaria dan jawaban yang mereka terima adalah untuk menerima saja makanan yang sudah disediakan. Mirisnya, para pekerja Palestina dilarang membawa makanan dari luar. Oleh karenanya, mereka sangat bergantung dengan sajian yang disediakan oleh pabrik tempat mereka bekerja.

"Kami sudah membicarakan hal ini dengan manajemen sebelumnya, namun tidak ada perbaikan, ada kalanya roti dan sayuran tak mencukupi dan ada kalanya tidak cukup minuman," ungkapnya.

Setelah mengeluh sedikitnya makanan saat berbuka puasa, keesokan harinya Al-Adin dan pekerja lainnya mendapatkan panggilan telepon dari manajemen yang memberitahukan adanya pemutusan kontrak kerja.

"Mereka menyebut kami melakukan kekerasan," ucapnya.

Sementara The Wall Street Journal menyebut  pabrik SodaStream di Tepi Barat menyatukan orang-orang Yahudi dan Arab selama bertahun-tahun. Mereka disebut bekerja berdampingan membuat mesin seltzer SodaStream untuk rumah-rumah di seluruh dunia. Lantaran adanya serangan para pejuang Hamas, SodaStream harus menghentikan para pekerja asal Palestina karena mereka memutuskan untuk pindah dari Tepi Barat ke Negev Selatan.

Padahal pada  2016, kepindahan SodaStream dari Tepi Barat ke Negev Selatan lantaran adanya desakan boikot global dari BDS. Saat itu, salah satu pendiri BDS Omar Barghouti mengatakan bahwa Israel telah memaksa banyak petani untuk bekerja di pabrik karena Israel telah mengambil tanah subur Palestina beserta tembok dan permukiman ilegalnya.

Didirikan sejak 1991, SodaStream adalah merk air soda soda yang juga menjual mesin seltzer atau pembuat soda portabelnya yang dijual di lebih dari 48 negara dan telah diakusisi oleh PepsiCo seharga 3,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 46,7 triliun pada tahun 2018. Sebagai bagian dari kesepakatan akusisi, PepsiCo berkomitmen untuk membiarkan SodaStream menjadi anak perusahaan yang independen dan mempertahankan kantor pusatnya di Israel.

Bahkan, setahun setelah akusisi PepsiCo mengumumkan perluasan pabrik SodaStream senilai 92 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,4 triliun di Israel Selatan dan memperkerjakan 1.000 pekerja. SodaStream membuat mesin yang mengkarbonasi air keran rumah.

Mesin setinggi satu setenah kaki itu mengubah air diam menjadi seltzer dalam 30 detik. Perusahaan ini memiliki 3.800 pekerja di seluruh dunia, 2.000 diantaranya bekerja di Israel.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement