Ahad 10 Dec 2023 06:40 WIB

Veto AS atas Resolusi Gencatan Senjata di Gaza Jadi Malapetaka Kemanusiaan Terbesar

Lebih dari 17 ribu orang telah terbunuh di Gaza.

Warga Palestina mengunjungi rumah mereka yang hancur akibat pemboman Israel di Jalur Gaza di Desa Khuza.
Foto: AP Photo/Adel Hana
Warga Palestina mengunjungi rumah mereka yang hancur akibat pemboman Israel di Jalur Gaza di Desa Khuza.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK --- Utusan Palestina untuk PBB, Riyad al-Mansour, mengecam kegagalan Dewan Keamanan PBB dalam mengadopsi rancangan resolusi yang mengupayakan gencatan senjata kemanusiaan di Gaza pada Jumat (8/12/2023) waktu setempat. Amerika Serikat (AS) yang memveto resolusi tersebut, telah menjadi malapetaka kemanusiaan terbesar

Padahal resolusi tersebut telah didukung dan disponsori oleh hampir 100 negara anggota PBB. Resolusi ini mendapat dukungan dari 13 anggota Dewan Keamanan. Inggris, yang seperti AS merupakan anggota tetap Dewan Keamanan dengan hak veto, bahkan memilih abstain.

Mansour menyebut kegagalan tersebut 'sangat disesalkan' dan 'malapetaka terbesar'.

"Alih-alih membiarkan dewan ini menegakkan mandatnya dengan akhirnya membuat seruan yang jelas, setelah dua bulan, bahwa kekejaman harus diakhiri, para penjahat perang justru diberi lebih banyak waktu untuk melanggengkan kejahatan mereka. Bagaimana hal ini bisa dibenarkan? Bagaimana seseorang dapat membenarkan pembantaian terhadap seluruh rakyat?" katanya.

Mansour mengulangi seruannya untuk gencatan senjata, dengan mengatakan, "Setiap hari tanpa gencatan senjata berarti nyawa melayang, orang-orang terbunuh dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern."

Rancangan resolusi tersebut menyerukan agar semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk mematuhi hukum internasional, khususnya perlindungan warga sipil. Resolusi itu menuntut gencatan senjata kemanusiaan segera dan meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk melaporkan kepada dewan mengenai pelaksanaan gencatan senjata tersebut.

Uni Emirat Arab (UEA), yang memperkenalkan rancangan tersebut, mengatakan mereka berupaya untuk segera menyelesaikan resolusi tersebut karena meningkatnya jumlah korban tewas selama 63 hari pecah perang Israel-Hamas.

Robert Wood, perwakilan AS untuk PBB, mengatakan Pemerintahan Biden menggunakan hak vetonya karena gencatan senjata akan memungkinkan Hamas untuk tetap memegang kendali atas Gaza.

"Selama Hamas berpegang teguh pada ideologi penghancuran, gencatan senjata apa pun hanya bersifat sementara dan tentu saja bukan perdamaian. Dan gencatan senjata apapun yang membiarkan Hamas tetap menguasai Gaza akan menghilangkan kesempatan warga sipil Palestina untuk membangun sesuatu yang lebih baik untuk diri mereka sendiri," ujanya.

"Oleh karena itu, meskipun AS sangat mendukung perdamaian yang tahan lama di mana warga Israel dan Palestina dapat hidup dengan damai dan aman, kami tidak mendukung seruan resolusi ini untuk melakukan gencatan senjata yang tidak berkelanjutan yang hanya akan menanam benih untuk perang berikutnya."

Lebih dari 17 ribu orang telah terbunuh di Gaza di tengah penembakan dan serangan udara Israel yang tak henti-hentinya, menurut angka resmi dari pihak berwenang Gaza. Perempuan dan anak-anak merupakan sekitar 70 persen dari semua korban tewas, dengan lebih dari 46 ribu orang lainnya terluka.

Sekitar 1,8 juta warga Palestina telah mengungsi. Israel memulai perangnya sebagai pembalasan atas serangan lintas batas yang dilakukan oleh kelompok Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan lebih dari 1.200 warga Israel. Sekitar 240 orang lainnya dibawa kembali ke Gaza sebagai sandera.

 

sumber : Anadolu Agency
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement