REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia terkenal sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia lantaran luasnya area penanaman kelapa sawit setiap tahunnya. Namun saat ini, produksi minyak sawit yang tidak berkelanjutan tengah menjadi perhatian dunia. Salah satunya terkait keputusan Uni Eropa (UE) yang memberlakukan Undang-Undang Antideforestasi (European Union Deforestation Regulation/EUDR).
Dalam diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion/FGD) yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), perwakilan divisi Amerop Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Emilia H Elisa mengatakan kebijakan EUDR sebagai keputusan internal Uni Eropa tanpa melibatkan secara formal negara-negara produsen, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, sikap dan posisi pemerintah Indonesia terhadap kebijakan deforestasi Uni Eropa tersebut “Not comply.”
Emilia mengatakan, pemberlakuan kebijakan EUDR berdampak multidimensi, terutama terhadap petani kecil yang berpeluag terisolasi dalam supply chain.
Merespons sikap pemerintah, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sebagai asosiasi pengusaha minyak sawit tegak lurus dengan sikap pemerintah.
“GAPKI mengikuti posisi pemerintah, kalau pemerintah menolak, GAPKI juga menolak” ungkap Ketua Bidang Perkebunan GAPKI, Azis Hidayat, Senin (11/12/2023).
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, menghormati sikap dan posisi pemerintah. Menurutnya, keputusan tersebut merupakan hal yang lumrah dan menunjukkan sikap tegas pemerintah mengingat beragam gagasan atau proposal EU terhadap sawit Indonesia cenderung merugikan.
Tauhid menambahkan kebijakan EUDR dalam jangka panjang akan berdampak pada produk sawit yang diproduksi dari negara lain. Sedangkan, dalam jangka pendek, pangsa pasar kelapa sawit Indonesia di Eropa berkurang. Meski Indonesia menolak aturan tersebut, pemerintah tetap harus melakukan percepatan untuk mengantisipasi ketentuan EUDR.
Dengan sikap tegas pemerintah, Emilia menekankan pentingnya dukungan dari pimpinan untuk memperkuat kedudukan Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB).
Penguatan kebijakan akan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang muncul terkait implementasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Penguatan RAN-KSB termasuk implementasi sistem sertifikasi ISPO memainkan peran penting dalam upaya Pemerintah mempromosikan produksi kelapa sawit berkelanjutan dan memastikan industri ini sejalan dengan standar lingkungan dan sosial,” tutur Emilia.
Sementara itu, Tauhid Ahmad menyampaikan selain dukungan kebijakan, metodologi yang digunakan juga harus cepat ditetapkan.
Menurut dia, harus putuskan metodologi tracebility yang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Meski posisi Indonesia menolak EUDR, Tauhid menyarankan harus tetap menyiapkan dan melakukan percepatan perbaikan ISPO.
“Memang dalam proses sertifikasi tidak mudah karena harus tahu jelas proses, mekanisme dari budi daya sampai nanti diterima di pabrik kelapa sawit (PKS) dengan memenuhi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan," kata dia.
Direktur Eksekutif Yayasan Ekonomi Inklusif Biru Hijau Indonesia (YEIBHI) Sunny WH Reetz menyampaikan, alternatif lain bagi Indonesia terkait hal ini. Dia menyatakan hilirisasi industri sawit mampu dijadikan sebagai alternatif dalam mengurangi dampak negatif EUDR.
Terlebih rencana tersebut sudah mulai dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), seperti yang dikatakan Aldo Manullang, sebagai perwakilan Bappenas yang menyatakan Bappenas berperan dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan memasukan hilirisasi sawit sebagai prioritas.
Peran ISPO bagi Indonesia Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) telah dianggap sesuai dengan standar internasional dan memiliki dampak positif dalam pengelolaan sawit yang berkelanjutan.
Adapun seperti dilansir dari Antara, EUDR dibuat untuk melarang masuknya tujuh produk komoditas, yang dituding menyebabkan deforestasi, setelah 30 Desember 2020 ke pasar Uni Eropa, kecuali lolos berbagai proses uji kelayakan.
Produk-produk komoditas yang tercakup dalam regulasi tersebut adalah kelapa sawit, kayu, kopi, kakao, karet, kedelai, dan sapi ternak.
Meski EUDR diterapkan untuk para operator atau trader di Uni Eropa, industri sawit dan petani sawit kecil diperkirakan akan tetap ikut terkena dampak.