REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Akhir pekan lalu, Starbucks mendapat laporan bahwa sebuah tokonya di New York telah dicat dengan grafiti pro-Palestina. Beberapa jam kemudian, di sebuah toko delapan blok jauhnya, seorang pelanggan juga kedapatan mencaci-maki karyawan Starbucks.
Beberapa pekan ini merupakan pekan yang berat bagi perusahaan kopi terbesar di dunia ini. Pada saat mereka berharap untuk menyebarkan keceriaan liburan dengan menu-menu ternama dari Starbucks, seperti moka peppermint, konsumen justru melakukan boikot atas perang di Timur Tengah dan upaya serikat pekerja di dalam negeri.
Gabrielle Blake, seorang mahasiswa di Kent State University di Ohio, mengatakan sulit untuk mendapatkan kafein tanpa mampir ke salah satu toko Starbucks di kampus. Namun dia telah memboikot perusahaan tersebut sejak Oktober 2023. Tepatnya, ketika perusahaan tersebut menggugat Workers United, serikat pekerja yang mengorganisir karyawannya, karena serikat pekerja tersebut telah mengunggah pesan pro-Palestina di media sosial.
Starbucks sempat ingin menghentikan serikat pekerja menggunakan nama dan logonya, dengan mengatakan bahwa perusahaan tersebut tidak memiliki pendirian resmi mengenai perang tersebut dan postingan serikat pekerja tersebut mungkin membingungkan pelanggan. Namun banyak pemboikot, seperti Blake, berpikir Starbucks harus memberikan lebih banyak dukungan kepada masyarakat Gaza.