Senin 08 Jan 2024 12:31 WIB

Menengok Persiapan Pemilu di Negara Paling Bahagia di Asia

Tingkat pengangguran kaum muda di Bhutan mencapai 29 persen, menurut Bank Dunia.

Kuil Taktshang Palphug di Bhutan
Foto: Amusing Planet
Kuil Taktshang Palphug di Bhutan

REPUBLIKA.CO.ID, THIMPU -- Kerajaan Bhutan yang indah di Himalaya akan mengadakan pemilihan umum dengan tantangan ekonomi yang serius yang mempertanyakan kebijakan lama mereka yang memprioritaskan “Kebahagiaan Nasional Bruto” dibandingkan pertumbuhan.

Kedua partai yang bersaing dalam pemungutan suara hari Selasa (9/1/2024), berkomitmen pada filosofi pemerintahan yang diabadikan secara konstitusional yang mengukur keberhasilannya berdasarkan “kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat”. Dikutip dari Aljazirah, Senin (8/1/2024), beberapa pemilih diperkirakan akan melakukan perjalanan selama berhari-hari untuk memberikan suara mereka di negara yang terkurung daratan dan berpenduduk jarang, yang luasnya hampir sama dengan Swiss.

Baca Juga

Yang paling utama dalam pikiran banyak orang adalah perjuangan yang dihadapi generasi muda kerajaan, dengan pengangguran kronis dan migrasi ke luar negeri yang menguras tenaga. “Kami tidak membutuhkan lebih banyak jalan atau jembatan baru,” kata petani Kinley Wangchuk, 46 tahun. “Yang benar-benar kami butuhkan adalah lebih banyak lapangan kerja bagi kaum muda,” ujarnya lagi. 

Tingkat pengangguran kaum muda di Bhutan mencapai 29 persen, menurut Bank Dunia. Sementara pertumbuhan ekonomi melambat rata-rata 1,7 persen selama lima tahun terakhir. Generasi muda pun telah mencapai rekor jumlah yang besar untuk mencari peluang keuangan dan pendidikan yang lebih baik di luar negeri sejak pemilu terakhir, dengan Australia sebagai tujuan utama.

Menurut laporan berita lokal, sekitar 15 ribu warga Bhutan telah diberikan visa ke sana dalam 12 bulan hingga Juli lalu. Jumlah ini, lebih banyak dari gabungan enam tahun sebelumnya, dan hampir dua persen dari populasi kerajaan tersebut.

Isu eksodus massal merupakan hal yang penting bagi kedua partai yang ikut serta dalam pemilu ini. Pegawai negeri karir Pema Chewang dari Bhutan Tendrel Party (BTP) mengatakan negara tersebut kehilangan “yang terbaik dari bangsanya”. “Jika tren ini terus berlanjut, kita mungkin akan dihadapkan pada situasi desa-desa yang kosong dan negara yang ditinggalkan,” tambah pria berusia 56 tahun itu.

Lawannya, mantan perdana menteri dan ketua Partai Demokrat Rakyat (PDP) Tshering Tobgay, 58 tahun, menyuarakan kekhawatiran atas “tantangan ekonomi dan eksodus massal yang belum pernah terjadi sebelumnya” di Bhutan. Manifesto partainya mengutip statistik pemerintah yang menunjukkan bahwa satu dari setiap delapan orang “berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka akan makanan” dan kebutuhan lainnya.

Janji Ekonomi

Pariwisata, yang merupakan bagian kecil dari perekonomian Bhutan namun merupakan penghasil utama mata uang asing, belum pulih dari gangguan pandemi virus korona. Tahun lalu, pemerintah memotong besarnya biaya harian yang dibayarkan oleh pengunjung asing untuk memastikan industri ini tetap berkelanjutan dan mencegah kerusakan ekologis.

Namun jumlah wisatawan asing pada tahun 2023 hanya sekitar sepertiga dari 316 ribu orang, dibandingkan jumlah wisatawan empat tahun sebelumnya. Pemerintah sebelumnya juga menjalankan beberapa proyek untuk mendiversifikasi perekonomian. 

Termasuk, zona ekonomi khusus di perbatasan India dan berencana bekerja sama dengan perusahaan yang berbasis di Singapura untuk mengumpulkan dana untuk skema penambangan mata uang kripto. Kedua pihak telah menjanjikan peningkatan besar investasi pada pembangkit listrik tenaga air, sumber energi utama negara tersebut.

Manifesto BTP mengatakan kapasitas pembangkit listrik tenaga air hanya 10 persen dari potensi, dan PDP menjanjikan pengembangan industri baja, semen dan industri pendukung lainnya yang akan menyediakan lapangan kerja yang sangat dibutuhkan. Lembah pegunungan Bhutan dan sumber daya air yang melimpah telah menciptakan “kondisi ideal” untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga air dan ekspor ke India, menurut Bank Dunia.

Pekan ini, negara tetangga Nepal ini telah menandatangani kesepakatan pembangkit listrik tenaga air yang menguntungkan untuk menyediakan 10 ribu megawatt selama dekade mendatang ke India yang haus energi, yang sangat bergantung pada batu bara. Namun mengambil beberapa langkah tentatif untuk melakukan dekarbonisasi.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement