REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) mengungkapkan bahwa pengajuan yudisial (judicial review) soal pajak hiburan dilakukan pada pekan depan.
“Saya rasa minggu ini tidak terkejar, mungkin awal minggu depan. Kalau tidak Senin, Selasa,” ujar Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani saat ditemui di Jakarta, Rabu (31/1/2024).
Ia mengakui, terdapat beberapa berkas yang tengah direvisi, sehingga pengajuan belum dapat dilakukan pada akhir bulan ini.
Langkah hukum dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemda.
Dalam permohonan itu, Hariyadi mengakui pihaknya fokus pembatalan dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 terutama pada pasal 58 ayat 2, yang di dalamnya termuat penarikan tarif PBJT untuk jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap atau spa yang dipatok paling rendah sebesar 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
“Kami fokus itu saja (Pasal 58 ayat 2) karena masalahnya di situ,” ujarnya pula.
GIPI dan para pengusaha industri hiburan mengunjungi kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) di Jakarta untuk bertemu dengan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan pada Jumat (26/1).
Hariyadi mengatakan, Menko Luhut menyatakan akan mengeluarkan surat edaran kepada para kepala daerah untuk memberikan insentif fiskal.
Pada Pasal 101 UU HKPD, pemerintah daerah dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha dan jasa hiburan, berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan atau sanksinya.
Untuk itu, GIPI meminta kebijaksanaan para kepala daerah untuk menggunakan instrumen tersebut sebagaimana arahan yang diberikan oleh pemerintah pusat.